"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Sabtu, 31 Desember 2011

MENCARI KEADILAN


Pada tanggal 24 juli 2011, saudara sepupu saya “Sumantri” tertimpa musibah, Ahong masih tetangga kampung menganiaya (menampar) dan mempermalukan Sumantri di muka umum. Kejadian penganiayaan itu terjadi di rumah duka Icang, kebetulan pada saat acara tahlilan tujuh hari kematian Ibu Acong Minati tetangga dekat. Seperti biasa pada setia acara tahlilan anak muda atau para tetangga membantu-bantu melayani. Saat itu saudara saya membantu melayani para tamu undangan, Dia membawa sajian makanan untuk para tamu yang hadir, pada saat membawa sajian itu saudara saya ditampar oleh Ahong. Kemudian kasus penganiayaan tersebut dilaporkan kepihak berwajib. Bagaimana kronologi lengkapnya nanti akan saya ceritan setelah ini.

Tahlilan atau selamatan kematian sudah menjadi teradisi terun-temun di lingkungan kami. Tahlilan biasaya dilaksanakan setelah har pertama (prosesi pemakaman) hingga hari ke tujuh. Tahlilan ini terbuka untuk umum, tidak ada batasan kouta. Biasanya tuan rumah meminta “istilah Madura : ngemis ‘nyo’on’ dtoa” pada para tetangga (tahlilan ini, terbuka untuk umum dengan jam yang sudah ditentukan. Biasanya pada pukul 02.00 di siang hari, atau pada di malam harinya sekitar pukul 19.30, habis solat isyak) yang hadir untuk mengirim doa pada Al-marhum---al-marhuma, namun tak tertutup kemungkinan kenalan jauh juga turut hadir menyambung doa untuk al-marhum-al-marhumah.

Seperti yang saya kemukan, setiap orang yang akan menyumbangkan doa jumlahnya sukar diprediksi. Namun dari kebiasaan yang terjadi peserta atau pemyumbang doa “tahlilan” ketika kematian di atas 100, orang. Dan minimal 50 orang. Setiap selesai tahlilan dan doa, tuan rumah memberikan beberapa sambutan :
  1. Memohon ampunan atas dosa almarhum, dan menyampaikan terimaksi pada mereka yang terut iklas menyumbang doa
  2. Memohon maaf atas segala kekurangan baik dari segi layanan atau sapa yang kurang berkenan
  3. Meminta pada yang penyumbang doa “tahlilan” untuk hadir pada hari selanjutnya, atau memberitahukan pada warga yang masih belum tahu (sampai hari ke tujuh)
Setelah Tuan rumah atau yang mewakili memberikan sambutan, para tetangga terdekat sudah siap membagikan sajian “sedekah” yang telah dipersiapkan untuk para tetangga yang hadir. Sajian yang diberikan tergantung pada keberadaan yang meninggal. Kalau orang yang sedikit lebih harta “punya” biasaya memotong sapi satu-dua ekor. Namun bila yang meninggal tidak mampu biasanya hanya sebatas telor dengan lauk pauk biasa.

Sedekah biasanya tidak hanya berupa jamuan makan namun ada sedekah yang berbentuk materi (sedakahuang namun hal itu bukan satu keharusan, sebatas penghormatan dan tergan keikhlasan dari duka, tuan rumah). Sedekah berupa uang  diberikan khusus untuk tamu istimewa “terhormat” (kia’i). Ada satu anggapan bahwa doa para kia’I lebih mudah terkabul, kerena mereka senantiasa bertaqorrub pada Allah subhana wata’ala.

Detik-detik, Saat Terjadinya Penganiayaan
Saat itu Sumantri saudara sepupu saya melayani para tamu tahlilan. Dia membawa satu talam kuah (Seperangkat sajian kuah) untuk dibagikan pada tamu yang sudah makan. Namun saat tiba di lokasi Ahong meminta jatah kua yang dibawa oleh Sumantri, Suamantri menolak memberikan jatah kuah yang diminta oleh oleh Ahong. Karena lokasi yang diminta Ahong masih belum selesai atau sedang akan memualai makan, sementara di bagian bawah banyak tamu yang meminta kuah, kemudian Sumentri bermaksud memberikan jatah kuah tersebut untuk para tamu yang sudah makan lebih awal, akan tetapi  Ahong merebut jatah kuah dari tangan Smantri. Karena dirubut dengan keras, kuah itu pun tumpah. Meskipun tumpah mengenai alas tikar, dan beruntung tidak mengenai siapa pun.

Karena kuah yang di bawa Sumantri tumpah, Ia pun kembali ke dapur untuk mengambil kuah lagi. Sesampai di halaman Sumantri mengeluh “Tadi drebut, tidak bergiri secara tertip, kuahnya tumpah. Beruntung tidak kena tamu “orang”. Ungkap Sumantri. Saat itu Sumantri berda tidak jauh dari Ahong. Mendengar keluhan Sumantri Ahng naik pitam “apa kamu kok banyak bacot, kemudian menampar Sumantri”. Tamparan itu bersarang tepat di pipi kiri Sumatri.

Pipi kiri Sumantri merah, wajahnya pucat pasi. Bekas tamparan nampak jelas. Orang yang ada di sekitar TKP tercengang, Ma’at yang hendak melerai dan bertanya kenapa tiba-tiba menampar Sumantri ikut jadi sasaran. Ma’at juga di tampar oleh Ahong. Suasana rumah duka yang awalnya sejuk, penuh cengkrama tawa dan doa tiba-tiba riuh dengan teriakan para wanita. Sementara para laki-laki sibuk melerai dan menahan Ahong yang memukul secara membabi buta.

Pada saat kejadian Sumentri tidak melakukan perlawanan apa pun. Dia hanya beristiqfar, dia kembali kedapur dan mencari ibunya. Akan tetapi ibunya yang dari tadi ada di dapur membatu menyiapkan makanan tidak ada. Ia pun balik ke rumahnya mengambil air wuduk dan berdoa. Sesaat kemudian ibunya datang. Tangis dan teriakan histeris tak tertahankan, “apa yang terjadi, kenapa kamu sampai ditampar, apa salahmu, sehingga dia menamparmu” pertanyaan itu mengalir beserta tangis yang semakin menjadi.

“Nak pipi-mu panas, sakit yaaa…” ibun Sumantri mengelus-elus wajah dan kepala putranya. “maafkan Sumantri bu…” Sumantri meminta maaf sambil memeluk ibunya. Sementara para tetangga yang sedari awal tenang mulai berdatangan ke rumah Sumantri. Rata-rata yang datang mempertanyakan perlakuan Ahong yang tak jua berubah (sering membuat onar, perusak rumah tangga orang, dan sering bersikap arongan).

Bersambung……!!!

Tidak ada komentar: