"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Sabtu, 19 Februari 2011

Pembentukan Identitas dan Popularitas

Setiap orang membutuhkan tempat tinggal (rumah), sekedar melepas penat, berteduh atau berlindung dari panas matahari-hujan. Maka tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok selain makanan dan pakaian, tempat tinggal selain berfungsi sepeti disebut kan, tempat tinggal juga wadah untuk menerima tamu yang bersilaturrahim sekaligus sebagai simbol sosial. Jadi orang yang memiliki kemampuan ‘uang’ lebih tentu desain tempat tinggalnya tidak sama dengan orang yang tidak mamapu (miskin). Tempat tinggal juga menjadi salah satu cirri atau identitas sosial.

Lalu bagaimana ketika sebuah tempat tinggal
dijadikan identitas dan menentukan identitas itu sendiri, saya kira pembacaan terhadap tempat tinggal akan nampak dengan sendirinya tanpa perlu penegasan apakah tempat itu sederhana atau berkelas elit. Bangunan-bangunan sekarang adalah berhala, semua orang memuja, maka orang pada berlomba-lomba membangun tempat tinggal yang super mengah, namun tidak pernah berfikir memperindah diri. Lihat saja sikuli tetap tidak pernah merasakan indahnya tempat tinggal yang mereka ciptakan sendiri.

Jika selama ini kita dikontruksi bahwa tempat tinggal adalah sebuah bangunan untuk berlindung dari panas matahari dan gempuran hujan kemudian di dalamnya hiduplah manusia bersama istri juga anak-anak mungkin juga jin atau bahkan setan. Maka dalam hal ini saya akan menceritakan tempat tinggal tidak hanya pada batasan mahluk ; manusia, jin, dan setan tapi Tuhan itu sendiri. Tempat tinggal itu kemudian saya namakan Masjid. Masjid adalah rumah Tuhan, tapi masjid juga menjadi rumat atas setiap mahluk : ; manusia, jin, dan setan.

Ada perbedaan yang sangat jauh, antara tempat tinggal (rumah) mahluk dengan tempat tinggal (masjid) Tuhan. Jika pada tempat tinggal ‘rumah’ manusia, jin dan setan mendorong untuk membangun megah. Maka pada tempat tinggal ‘masjid’ Tuhan juga tidak jauh beda. Yang membedakan adalah kalau yang pertam untuk pribadi sementara untuk yang kedu untuk umum. Jelas tensi juga beda. Kalau pada tempat yang perta kepentingannya hanya berfokos pada memperindah, maka untuk tempat yang kedua selain memper indah juga ada tensi ke-kuasa-an-penguasaan.

Jadi membangun Masjid itu bukan
sekedar membangun tempat ibadah supaya beribadah dengan tenang tapi juga untuk bisa tenar. Maka tidak heran jika setiap pembangunan Masjid di satu tempat selalu ada senggeta--pertikaian yang berujung pada pecah-nya ummat, jika tujuan pembanguan itu untuk ummat tidak mungkin ummat pecah, perpecahan itu terjadi lantaran ada sebuah tarik ulur kepentinagn. Jika pembangunan ibadah “masjid” jadi alat untuk popular di mata ummat, “memang ini sudah jamannya begitu”.

Setiap tindakan itu termuat kepentinagan dan tujuan tertentu, tujuan ibadah tidak dapat ditakar manusia, kecuali Tuhan itu sendiri. Namun setiap motif itu akan mengesan lewat satu ungkapan dan peran—timbal balik ‘aku’. Jangan sekali kita mengatasnamakan tindakan pada kaidah agama ‘Tuhan’ karena kita bukan apa. Jika perbuatan menimbulkan perpecahan apakah hal itu juga termasuk kaidah agama ‘Tuhan’, jika benar begitu lantas Tuhan apakah sengaja mengobok-obok ummat. Padahal mereka hendak berpulang pada satu jalan ‘ibaha dan kerukan’ namun mengapa kau patahkan semangat mereka denagan dalil-dalil penuh tipu.

Masjid—dan per-alih-an ke-Kuasa-an

Ketika kita mendengan kata Masjid yang terlintas dalam benak adalah sautu gambaran relegius-penuh hikmah. Ya lantaran Masjid adalah tempat yang lekat dengan ritual ‘ke-Tuhan-an’, ya paling tidak ketika kita hendak melaksanakan solat yang lima waktu, ‘solat berjamaah’. Setiap tempat tentu memiliki tuan, setiap tuan tentu berrelasi dengan hamba, maka Majid juga memiliki Tuan ‘ta’mir masjid’, ta’mir adalah peminpin, kerena peminpin tentu memerlukan obyek yang akan dipimpin—dalam hal ini orang yang dipimpin kemudian popular dengan sebutan jama’ah (jama’ah masjid).

Kemudian pada kesempatan ini saya akan coba menyampaikan cerita singkat berdirinya Masjid di Dusun Paramaan—yang berujung pada peralihan ke-kuasa-an. Kuasa yang berujung pada penguasa-an akan memiliki implikasi lain. Apa Yang terjadi di kampung Paramaan adalah penyerobotan kuasa satu-ke-penguasaan baru. Mengapa saya katakana demikian ?, saat kepimpinan ada pada satu komando bisa dikatan tidak ada krisis apapun di Paramaan apalagi soal pendirian tempat ibadah ‘majid’. Timbulnya persoalan mengenai tempat ‘masjid’ adalah munculnya dualisme kepimpinan, yaitu pertama kubu Padepokan Lambi Caphi dengan kedua kubu yang pro pada yayasan di luar paramaan.

Sebelum permasalahan penempatan ‘masjid’ memuncak, telah ada sebuah wadah komonikasi yang dikomandoi kubu pertama, pada saat telah ada sepakat bahwa tempat Masji positif ada ditengah-tengah, kesepatakan iti pun disambut baik oleh semua kubu. Cuma pada saat itu pengkliran status tanah sedikit mengalimi hambatan, tapi belum final dalam artian masih dalam negosiasi. Namun disisi lain kubu kedua ternyata memotong jalan pintas mengambil opsi lain, yaitu tempat masjid tidak di tengah-tengah seperti kesepakatan dari semua kubu diawal, inilah awal permulaan perpecahan itu.

Perpecahan itu kemudian menjadi tiga faksi blok barat diwakili kubu Yayasan, blog Timur yang berkoalisi dengan blok utara dan blok Padepokan yang mengambil jalan tidak ambil sikap terhadap kejadain itu. Blok Padepokan menganggab ada pendistorsian kemufakatan. Karena pada awalnya masyarakat semua sepakat pembangunan masjid ditengah-tengan, kepusutan diambil dengan satu pertimbangan keadilan. Karena pihak kedua memotong jalannya negosiasi, dengan mengbil opsi diluar kesepakatan, disinilah yang memicu terjadinya konflik, pihak kedua tidak mengahargai upaya yang dibangun oleh pihak pertama.

Dari potongan peristiwa itu kita dapat melak
ukan interpretasi betapa pentingnya kesatuan ummat dan proses negosiasi. Dalam potongn peristiwa itu kita dapat melihat siapa yang memicu konflik dan menjadi prantara pecahnya ummat, di sini kita tidak hendak mengadili satu dengan yang lain. Namun kami hanya mencoba mengajak untuk tetap mengedepankan konsilidasi yang mengedepankan kesatuan ummat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

banyak orang yg ingin narsis ya gt