"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 17 Februari 2011

KyaiI dan Wong Awam Sebuah dialektika sosial



Daerah tempat saya tinggal masih jauh dari hiruk pikuk kota, suasana relegi terasa sekali, hal itu dapat dilihat dari bangunan pondok pesantren yang semakin maju mulai pondokan tradisional-modern saat ini terus tumbuh. Terapresianya pondok tidak lepas dari dukungan politik, politik juga menjadi salah satu faktor berkembangnya pesantren di daerah tempat tinggalku. Yaa.. Semenjak K.H Abdurrahmam Wahid atau yang akrap Gusdur terpilih sebagai Priseden ke empat, kebijakan pada pesantren bagai durian runtuh. kalau kebijakan politik sebelum gusdur cendrung  memarginalkan pran pesantren mulai digeser oleh Gusdur, pesantren mulai diperhatikan bahakan ‘mendapat prioritas’, tokoh fenomenal dan nyentrik ‘Gusdur’  membawa angin lekat dengan pesantren yaa.. karena Gusdur juga lulusan pesantren, maka wajar saat dia terpilih jadi Presiden memberikan balas jasa. 
 
Maka ketika Gusdur akan dilengserkan seluruh ulama’ Sejawa Timur mengecam keras, bukan hanya itu mereka menurunkan para santri kejalan ‘berdemonstrasi’. Di kalangan jawa dan khususnya di tempat tinggal saya Gusdur selain sebagai presiden yang Kyai Ia juga dianggap Wali. Gusdur memang sosok yang Kontroversial, setiap ucapan mengundang banyak reaksi tapi tak sedikit pula mendapat angin segar ‘barokah-nya’.
Gusdur memang selalu nyentrik, maneuver-manuver yang dilontar tidak bisa langsung ditebak, Gusdur adalah lokomotif dimana pemikirannya melampauwi zamannya. Jujur saya rindu sosok Gusdur, seandainya dia tau kampong saya mungkin Ia juga akan melontarkan maneuver kontroversialnya soal prilaku kyai yang hedonis dan gila hormat. “sebenarnya kyai tidak tau yang sebenarnya tahu, dia hanya mengkopi paste pemikitran ulamak terdahulu, karena pada prinsipnya pengetahuan dan sekedar tau itu sangat berbeda, seorang yang tahu cendrung fanatik dalam menyikapi masalah. Sementara orang yang mengetahui ‘paham’ akan bijak dalam menyikapi masalah” hamba Allah.

Kalau orang tahu Agama dikampongku sangat banayak, karena rata-rata mereka keluaran pondok, dan anak kyai, soal pengetahuan hokum agama tidak diragukan lagi, maka jangan tanya soal dalil / ayat Al-quran --Hadist yang menyangkut hukum / agama karena mereka hafal di luar kepala. Makanya ketika ada yang dipandang melenceng dari apa yang mereka tau ‘hukum agama’ dengan cepat pula mereka memberikan satu kesimpuan itu salah dan hal itu tidak benar, karena tidak sesuai dengan landasan agama Al-quran dan Al-hadist.

Apakah kyai itu benar-benar tahu atau bersih dari kesalahan, apakah mereka juga masuk dalam golongan yang mendapat ma’fu seperti Nabi Muhammad sw. ? untung saya tidak menemukan ayat yang menyatakan kyai itu dima’fu. Namun begitu saya melihat masih banyak kyai yang arongan dan cenderung menganggab diri mereka paling benar. Ya mungkin hal itu tidak bisa lepas dari budaya, aaahhh sebenarnarya aku malas bahas ini, tapi gimanalagi kultur yang mengkultuskan kyai begitu kuat di kampongku. 

Doktrin mengkultuskan guru ‘kyai memang sangat kental di Madura terutama di kampoeng saya. Ada sebuah unggkapan Madura “Sengha’; je’langcankkolang kaguru, ma’an elmuna tak bharokha” (awas jaga kesopanan dengan guru, nanti ilmu yang kita dapat dapat tidak berkah). Sebenarnya ungkpan tersebut memiliki tujuan yang sangat baik, supaya relasi antara murid dengan guru sejalan. Namun ada sebuah penekanan makna yang dalam dibalik ungkapan itu, ialah relasi dimana murid harus patuh dan mengiyakan semua titah gurunya, dalam baha Madura “not-manot-bhe’i”.

Sebenarnarnya siapa yang membentuk pertama pengkultusan itu, masyarakat awamkah atau kyai sendiri. Ini merupakan sebuah masalah pelik namun menarik untuk ditelusuri. tapi yng pasti didunia ini tidak ada yang mustahil, artinya sebab musababnya bisa kita telusuri. Dalam hal ini saya coba melihat dari sudut meng-e-tahu-I, bisanya orang bicara tidak jauh dari apa yang di-ke-tahu-i, seorang tukang becak kita berkumpul dengan orang maka dia akan bicara masalah yang berkaita dengan-becak, baik itu penumpang alat dan sebaginya. Seorang Alim-ulama dia akan berkata sesuai apa yang di-ke-tahu-i ‘agama’ di dalam agama kita kenal sebuah rujukan dalil-dalil hukum. Pertanyaannya sekarang adakah dalil hukum yang menekankan ‘peng-kultus-an’ terhadap kyai. Saya akan mengutip posting guru saya : (kolallahuta’a : hel yestawilladzina yaklamuna la ya’lamun) artinya : Allah SWT berfirman : Adakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. Kalau dianalisis dari unsur makna di situ telah jelas dibedakan antara orang yang mengetahi dan orang yang tidak mengetahi. Dengan begitu kita mudah mengklasifikasin siapa yang dimaksud tau dan siapa yang dimaksud orang yang tidak tau, artinya kita dapat membedakan siapa yang layak dikatakan “kyai (orang yang mengetahui) dan siapa yang dimaksud dengan masyarakat biasa (orang yang tidak mengetahui). Jadi jelas produksi makna itu ke mana dan ditujukan pada siapa,  siapa yang mengucapkan dan bertujuan apa, produksi makna pasti selalu penekanan oleh si pengucap, hal dilakukan sebagai legitimasi terhadap satu subyek, artinya dia hendak mengatakan antara kalian (masyarakat biasa) dan aku (kyai) tidaklah sama maka “hendaklah kalian hormat dan patuh padaku”.  

Penafsiran itu berlandaskan pada realitas bukan pada teks. Artinya fenomena di lapangan adanya memang seperti itu. Masyarakat awam cendrung dijakan alat / ojek, sementara orang yang memandang diri sebagai orang yang tahu, terus melakukan distorsi penyadaran, wajarlah jika masyarakat awam mengkultus kyai sedemikian rupa. Ketika kita hendak melakukan kritik terhadap fenomena semacam itu malah kita yang akan terpatalogikan. Inilah ironi sebuah pengetahuan yang diakumulasikan dengan penguasaan pengetahuan.
JADI saya mengharap pada meraka yang mengaku dirinya sebagai orang meng-e-tahu-i, untuk membuka diri dari terhadap kritik. Masyarakat awam jangan hanya dijadikan objek hokum--kaku, berikan mereka pencerahan dan penyadaran secara utuh dan menyeluruh. Karena dengan begitu nantinya saya berharap akan terbentuk sebuah kontruksi pemikiran. Untuk membentuk sebuah kontrusi diperlukan akomodasi-diskursif setelah itu baru akan terbentuk sebuah pemikiran konstruktif dan dinamis. Maka harus ada ruang kritik, hanya dengan kritiklah satu-satunya jalan agar tercipta sebuah dialog yang dialogis. Dengen begitu Insyaallah  kesadran  akan tumbuh secara alami, bukan pendistrosian terhadap kebenaran iru sendiri.

  

Tidak ada komentar: