"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Senin, 14 Februari 2011

Akulturasi Hindu ke-ISLAM (Hepotesa pada tradisi Jawa khususnya di Sumenep)

Kalau kita mencari penganut Agama Hindu di Sumenep, tentu tidak akan menemukan satu pun. Tapi kalau kita menelusuri masyarakat Sumenep secara kultur maka kita akan memukan masyarakat sumenep syarat dengan kultur yang berbau Hindu. Hal ini tidak bisa lepas dari peran pembawa Islam (Wali Songo), yang memadukan tradisi hindu kedalam ismalam kala itu”.

Orang Jawa dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan dunia magis. Kepercayaan masyarakat ‘jawa’ terhadap hal-hal yang berbau magis dilatarbelakangi oleh beberapa factor, diantaranya : rumpun kepercayaan masalau ‘nenek moyang’, faktor geografis dan beberapa tradisi atau kultur masyarakat. Namun di sini tidak hendak membahas masyarakat dan tradisi Jawa secara umum.

Secara demografis kultur yang berkembang di masyarakat Sumenep merupakan pe-modifikasi-an antar tradisi hindu ke-islam. Konon ada beberapa taradisi yang dijalankan masyarakat sampai saat ini merupakan paduan dari tradisi hindu, semisal selamatan (muang sangkal, pandawa, rarampaten dll).

Kalau dilihat dari penyebaran agama, islam dan hindu di Indonesia memang lebih dulu hindu. Hal itu dapat dilihat dari beberapa peninggalan yang berupa artefak dan kuil/candi. Pada perjalanannya hindu tidak berkembang, dan islamlah yang justru lebih berkembang. Sehingga wajar bila dalam pelaksanaan ritual Islam, tradisi Hindu masih kerap dijumpai.

Akulturasi budaya hindu ke-islam bermola dari gagasan Sunan Drajat dan 8 wali lainnya. Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa lepas dari Peran 9 wali (wali songo). Di mana dalam dakwa (penyebaran agama) selalu memadukan tradisi yang berlaku di masa itu (masa hindu). Jadi tidak heran jika dalam ritus-ritus keislaman terdapat unsur tradisi Hindu.
Dianatara ritus-ritus yang mengakomodasi budaya hindu seperti membakar kemenyan. Membakar kemenyan dalam islam tidak dikenal. Namun peraktik membakar kemenyan dapat ditemukan dilingkungan Madura, dan daerah-daerah di jawa. Pembakaran kemenyan biasaya dilakukan pada hari kamis malam (malam jum’at).

Bakar kemenyan biasanya dilakukan oleh penjaga makam. Seorang yang dipercaya ‘penjaga makam’ membakar kemenayan di hari yang sama, kamis malam, menjelang magrib. Dalam pembakaran itu biasanya menjaga makam melakukan doa, dan memanggil para leluhurnya, konon dengen membakar kemenyan aroah akan tenang dan senang. Dalam tradisi islam hal itu mungkin asing, namun golongan islam garis keras mengecam hal semacam itu sebagai perbuatan syrik. Dan orang yang melakukan ritus semacam itu tidak sejalan dengan tradisi nabi.

Semenatara dalam tradisi lain yang mengakomodasi tradisi hindu yaitu memandikan kandungan pada usia tujuh bulan “upacara Tujuh Bulanan”. Dalam islam dan tradisi Nabi tidak ada istilah upacara Tujuh Bulanan. Pengakomodasian ritus-ritus keagamaan hindu keislam sangat banyak dan gampang ditemui. “islamisasi tradisi/budaya”, istilah itu sangat tepat untuk mewakili fenomena ritus kepercayaan dan tradisi pada masyarakat Jawa, Madura khususnya.

Umum-nya masyrakat jawa di dalam kepercayaannya “islam” dalam melaksanakan ritual masih dipengaruhi oleh agama hindu dan budha. Diantara seperti wisata religius berupa ziarah makam walisongo. Di Madura Sumenep khususnya ada beberapa situs bersejarah Asta Tinggi, Asta Katandur, Asta Paregi, Joko Tole dll.

Bersiarah pun Harus Dimulai Dari Yang Lebih Tua
Salah satu tradisi orang Jawa adalah bersiarah pada tempat-tempat yang dianggap memiliki kramat (dianggab suci). Seperti berkunjung kemakan para Ulama’ besar atau berziarah ke makam-makam para wali. Bagi sebagian masyarakat berziarah ketempat para semacam makam para wali dianggab dapat memberi satu berkah tersendiri. Hal semacam itu sudah menjadi satu kepercayaan yang sulit dirubah.

Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat di sumenep di mana masyarakat percaya bahwa makam para ulama’ atau raja bisa memberikan berkah tertentu. Sehingga banyak masyarak memilih menyepi atau bersemedi di makam untuk mencari wangsit. Beberapa situs yang dianggap memiliki kramat seperti Asta Tinggi, Asta Katandur, Asta Paregi, Joko Tole dll.

Salah satu situs yang sering dikunjungi oleh masyarakat madura dan luar jawa adalah situs makam para raja Madura yaitu Asta Tinggi. Asta Tinggi, merupakan situs makam para raja Sumenep. Situs makam ini terletak 2,5 km di dataran tinggi disebelah barat Kota Sumenep, Madura. Asta Tingi kini telah berusia 200 tahun lebih, tepatnya dibangun sejak tahun 1750.

Di dalam makam terdapat dua bagian, kubah disebelah Barat merupakan makam Panji Pulang Jiwo --Bupati Sumenep 1672-1678, Pangeran Jimat --Bupati Sumenep 1721-1744. Kemudian di bagian lain makam Bendoro Saut--Bupati Sumenep 1750-1762. Sedang sebuah cungkup yang berada di bagian Timur makam Panembahan Sumolo Asirudin --Bupati Sumenep 1762-1811, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I--Bupati Sumenep 1811-1854.
Asta Tinggi memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan bebera Asta lain, keunikan tersebut terlatak pada bagunan yang terbuat dari batu kapur yang telah berusia ratusan tahun tapi tetap tersusun rapi. Dalam bagunan terseut tidak ada bumbu perekat, artinya bangunan Asta masih asli dan stril dari bahan campuran perekat--misalnya semen.

Di dalam komplek makam Asta Tinggi terdapat beberapa bangunan yang sangat repsentatif seperti tempat aula, pengujung dapat menikmati rindangnya pohon dan melihat dataran sumenep dari ketinggian Asta Tinggi. Makam yang ada di Asta tinggi rata-rata berada dalam kubah, khususnya makam para raja dan keluarganya.

Sebelum memasuki lingkungan makam, pensiarah dihadapkan sebuah pintu besar dengan tangga yang menjadi ciri khas pintu gerbang setiap makam kuno di Jawa, jadi para pensiarah makam bisa menikmati ukiran kayu berciri tradisional Sumenep yang menghiasi sudut makam ornamen berupa lukisan kono yang ada di lingkunagn Asta Tingi.

Ada satu taradisi yang unik ygng sampai saat ini masih diterapkan pada setiap peziarah. Tradisi  yang berlaku di Asta Tingi menganjurkan agar setiap peziarah yang datang terlebih dulu berziarah dicungkup yang ada di bagian Barat Barat, baru ke ke arah Timur. Ini memang merupakan wasiat dari Sultan Abdurrahman, agar setiap peziarah mendahulukan kunjungan ke makam yang lebih tua. Dan menganjurkan agar setaiap peziarah tidak membuka aurat seperti bercelana pendek. Hingga tak heran jika juru kunci di sana menyediakan sarung bagai peziarah yang terbiasa berpakaian pendek.


3 komentar:

madila oke mengatakan...

anda mengatakan bahwa di zaman rasul tidak ada membakar kemenyan,tp setau sya pernah sya baca hadis di sunan nasa'i di dalam hadis tersebut ada tercantum tntg bakar kemenyan waktu mau shalat(mmg tidak di tentukan waktunya)=dlm istilah hadis tersebut dgn kalimat''bakhur''cb anda cari sendiri di sunan Nasa'i.dan memang sy juga sepakat bila bakar kemenyan ada tujuan tertentu,misal memanggil roh,atau do'anya tidak maqbul kalau tidak pake'kemenyan sy juga setuju itu perbuatan yg di larang.

madila oke mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Mahmudi Ibnu Mas'ud mengatakan...

saya tidak penfikan hal itu. apa yang saya gambarkan dlm tulisan itu merupakan potret di lingkukan di sumenep.

mereka tdk mempersoalkan apakah tradisi itu sbg produksi islam atau tdk. pertautan budaya/ tradisi sebagi jembatan "bersifat" sepritul.

maslah akulturasi hindu keislam.... mgkin bs dipelajari dr kiprah walisongo dlm menyebarkan "dakwa" islam.