"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 23 Februari 2011

Kebenaran Naratif Dalam Prespektif Kultur "Islam"

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali bila kaum yang bersangkutan berusaha mengubah sendiri keadaannya (Qs. Ar-Ra’du : 11).

Saudaraku ....
Tabir telah tersingkap dan rahasia telah terungkap ini sungguh nyata dan begitu dekat, lebih dekat dari bayang-banyag dan khayalan. kalian direndahkan! malam-malam masa muda telah kalian sia-siakan dalam teriakan kegembiraa. ini benar-benar nayata.

Saudaraku seiman dan sekeyakinan. Saatnyalah kita membuka tabir kebekuan yang selama ini kita anggab tabu, kalau selama ini kita selalu berpangku tangan dan pasrah terhadap nasip dan takdir, maka kenapa kita tidak coba untuk mengubah takdir itu. Bukankan Tuhan sendiri telah memberikan kewenangan-Nya kepada kita, lalu untuk apa kita selalu apatis dan menganggap, apa yang kita jalani adalah semata-mata takdir-Nya, apakah itu dibenarkan menurut agama ? apakah agama (Tuhan ) kita sekejam itu ?. tidak saudaraku.

Saudaraku sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, itu semua karena adanya kemauan darti diri kita, dan kesalahan kita dalam menempatkan posisi kita. Lantas kenapa kita sering cepat memberikan kesimpulan bahwa apa yang terjadi terhadap kita (baik dan buruk) adalah kehendak Tuhan. Semudah itukah kita menyimpulkan persoalan takdir, dengan melemparkan segala kewenagan, kemudian Tuhan yang disuruh bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada kita.

Kalau kita mencermati dengan teliti dan melakukan telaah secara mendalam ayat di atas saya kita saudara dapat memberikan sebuah simpulan tersendiri. Lantasa masihkah kita mengantungkan segala eksistensi kita kepa-Nya. Tidak salah jika Max dan Freud menganggab bahwa (orang yang meyakini keberadaan Tuhan) manusia itu gila, berada dalam kegilaan. Jika kita tetap mengantungkan apa yang kita lakukan itu semata-mata karna tuhan maka kita telah masuk dalam kata gori yang dikatan oleh Freud tersebut.

Ayat tersebut secara tegas memberikan ruag dan eksistensi manusia, bagi manusia sendiri. Siapa yang tidak ingin hidupnya lebih baik, tentu setiap manusia normal menginginkan hal itu. Begtu juga saya, memiliki keinginan untuk hidup lebih baik. Saya hidup dan dibesarakan di kalangan keluarga yang serba berkekurangan. Bukan maksudnya saya untuk mengingkari nikmat Tuhan yang telah diberikan pada saya-keluarga. Setidaknya meski saya hidup dalam keluarga yang sedrhana, saya bersyukur dengan segala yang telah Allah berikan, karna sampai saat ini saya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bisa mengenyam pendidikan sampai ke perguran tinggi, ini merupakan nikmat Tuhan yang tiadatara bagi saya.

Saya mengatakan demikian, karna orang-orang yang memiliki kemampupuan secara finansial mereka tidak melanjutkan pendidikan anaknya sampai kejenjang yang lebih baik/sampai pada tataran perguruan tinggi. Entah kenapa ?, kalau saya cermati diantara teman-teman saya mereka seperti terbelenggu dengan sebuah sistem dan teradisi yang lebih kuat dan mengakar, yang ada di masyarakat itu sendiri. Sebenarnya mereka memilki keinginan seperti halnya saya ”melanjutkan keperguruan tinggi/ sekedar menyelesaikan sampai SMA. Alih-alih keterbelakangan para orang tua menjadikan mereka pesimistis.

Apala lagi ada sebuah selongan ”taat pada orang tua, adalah cerminan anak yang baik, percuma melanjutkan (menuntut ilmu sampai jauh tapi tidak, dijalankan) sampai keperguruan tinggi, toh nantinya hanya menjadi kuli biasa”. Secara garis besar teman-teman saya yang putus sekolah ”karna taat pada orang tua” takut kena laknat jika mengkal tidak patuh pada orang tua. Kedua karena mereka pesimis terhadap masa depan mereka, seperti apapun tingkat pendidikan yang diperoleh tidak bisa menjamin akan masa depannya, untuk lebih baik.

Jika alsan pertama tidaka melanjutkan sekolah ”pendidikan” karena ketaan mereka terhadap orang tua, hal itu dibenarkan oleh sistem dan kebiasaan yang berlaku, apakah hal itu dibenarkan secara konteks kemajuan zaman. bukan maksud saya untuk menganjurkan anak tidak taat tidak. tapi saya kira ketaatan itu harus proporsional. Ada dua permasalahan yang sebenarnya perlu diluruskan disini, yaitu antara ketaan dan anggapan baik masayarakat terhadap anak itu sendiri. Taat bukan berarti selalu menuruti keinginan orang tua, karena bagai amanapun orang tua juga manusia biasa, mereka juga bisa salah, Nabi saja pernah salah, apalagi orang tua kita tentu mereka juga bisa salah. Ketika mereka salah apakah kita memilki kewajiban untuk mentaati mereka. Apakah dalam agama ada anjuran taat secara buta.

Jika para orang tua beranggapan anaknya selalu enggeh dewo taat dan tidak pernah membantah ” adalah seutu kebanggaan ”baik” apakah itu juga benar dan dibenarkan. Mungkin dari kaca mata orang tua hal itu baik dan menjadi kebaggaan tersendiri bagi mereka. Pertanyaan sekarang apakah orang tua meresa bangga melihat anaknya tergilas oleh pradaban zaman. Ketaan mereka bukan jaminan kebaikan terhadap mereka. Baik untuk saat itu belum tentu untuk sekarang dan yang akan datang.

Disini dibutukan kesadran dari berbagai pihak baik itu dari para orang tua itu sendiri, lebih-lebih anak sebagai generasi penerus. Para orang tua harus lebih terbuka terhadap segala perkembangan. Begitupun seorang anak harus selelu peka melihat kondisi sosial yang semakain hari dipenuhi berbagai tantangan. Teradisi itu penting akan tetapi teradisi yang tidak berlandasa pada pendidikan juga perlu diwaspadai.

Jika alasan kedua seorang anak pesimis untuk melanjutkan pendidikan kejengjang SMA-PT (Perguruan Tinggi) karna tida ada jaminan kesuksesan di masa depan hal itu juga perlu diluruskan. Sukses bukan diukur dengan dia bisa menjadi pejabat /memperoleh posisi tertuntu. Sukses itu juga bukan diukur dengan dia mendapat pekerjaan dam memiliki gaji besar, sukses itu adalah ketika dia bisa menemptakan posisinya secara baik dan proporsional. Sukses itu ada dalam bingkai hati, sukses itu adalah jika dia merasa bahagia menjalani hidupnya, tenang, tentu hal itu tidak bisa diperoleh dengan materi dan limpahan harta. Hal itu bisa dicapai dengan kesadaran dan jejang pendidikan yang matang.

”Tuttutlah ilmu walau sampai kenigri cina” Al-hadits

Himbawan itu dilontarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dia adalah ummat pilihan bapak dari segala bapak di muka bumi. Tentu banyak alasan mengapa Nabi melontarkan perkataan itu. Saya tidak akan mengulas secara detail tentang eksistensi dan latar belakang munculnya hadits tersebut, tapi mari kita renungkan bersama dan dijadikan sebagai referensi bagi kita dan masa depan generasi kita, agar jangan pesimis menatap pasa depan.
Kalau kita kaitkan anggapan orang tua ”tidak perlu menuntut ilmu jauh jauh-sampai keperguruan tinggi” maka himbawan itu termentahkan dengan sendirinya. Lantas bagai mana seorang anak menangkap dan mengafirmasi intruksi Nabi tersebut ?. Kutipan (Qs. Ar-Ra’du : 11) saya kira amat jelas,Tuhan memberikan seluas-luasnya pada manusia itu sendiri untuk menetukan nasipnya. 

Wallahua'lam bissowaf

Tidak ada komentar: