"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 17 Februari 2011

Menimbang Ilmu Umum dan Agama


“Untuk apa kita belajar agama di pesantren kalau hanya ingin menegaskan diri paling berilmu. Bukankah lebih baik belajar pada alam yang senantiasa menegasikan langsung pada Tuhan, yang tidak pernah menoleh akan aku tapi pada Dia (Allah),” 

Konon saat ini peradaban telah maju. Tapi mengapa pemikiran tidak juga berubah. Apa yang salah dari pencapaian kemajuan ini sehingga masyarakat begitu takut mengahdapinya. Apakah ini lantaran orang pencetus kemajuan kurang bersosialisasi, atau lantaran sikap intofet kita yang membuat kita seperti akan mengahadapi maut saja. Kiamat seakan di depan mata. Maka kajian sosmik dan pradaban tidaklah menjadi satu prioritas. Ini adalah buah ketidak adilan dari pemegang pengetahuan ‘ilmuan’ termasuk para ulamak. 

Benarkah agama begitu melegitimasi diri denangan dalil-dalil Al-quran dan Hadits saja, kemudian di luar itu dipandang nihil ‘tidak wajib untuk diketahui’. Ilmu agama dipahami sebagai penebus diri di akhirat, pahala-surga. Ilmu agama dipandang sebagai mustika di tengah-tengah masyarat. Masyarakat pun mendewakan para muamlim dengan menghinakan diri di depannya. Hal ini relevan dengan cerita temanku, antara sain dan agama. 

Kemarin teman saya bercerita soal keponakannya yang ingin ‘kuliah’ meneruskan pendidikan konsentara dibidang Matematika. Namun harapan keponakannya itu tidak sesuai dengan keinginan bapaknya, bapaknya menginkan anaknya meneruskan pendidikan di pesantren, memperdalam ilmu agama. Bapak dari keponakan itu bilang pada teman saya, ….. aku tidak sanggub untuk menuruti kemauan adikmu, dia ingin kuliah dibidang matematika, (kami) keluarga menginginkan Dia mendalami ilmu agama. “untuk apa meneruskan pendidikan ‘kuliah’ dibidang matematika, ilmu matematika yang didapat di SD-MA itu sudah lebih dari cuku” teman saya menrukan perkataan pamannya. Malang 5 Juni 2010.

Secara implisit cerita singkat di atas menegaskan, bahwa ada pertentangan antara keinginan seorang anak dengan kemauan bapaknya. Logika modern kita pun menggugat, masak dijaman secanggi ini masih ada orang tua bersikap seperti itu. Lepas dari konteks kemodernan peristiwa di atas mengambarkan ketidak pahaman orang tua terhadap potensi anak itu sendiri. Sementara pemahaman orang tua dalam bidang ilmu ke-agama-an masih terpaku pada tataran teks bukan konteks. Keagamaan dimengerti dan dipahami dalam ranah simbolis, seperti pemahaman kitab kelasik, hukum fiqih, aqidah, tauhed, al-Quran-Al-Hadits yang tekstual, bukan pada subtansi.

Maka jangan heran orang yang dipandag mengerti soal agama kemudian melakukan penyimpang. Bukan soal ilmu agamanya, tapi doktrin memahaman agama yang memicu disfungsionalisme ilmu agama. Secara tekstual Lulusan pesantren pemahaman ilmu agama sangat baik, buktinya mereka hafal dali-dalil agama diluar kepala. Namun soal konteks anatara pemahan dan tindakan wallah hu’ a’lam. Prodak-prodak pesantren yang mengakomodasi kultur pendidikan keras menjadi salah satu factor kegagalan dalam memaknai subtansi agama. Saya tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan pesan. Karena bagaimana pun pesantren telah memberikan kontribusi yang banyak terhadap negri ini. 

Permasalahan di atas ada satu maslah mengenai konsep pendidikan pemahaman belajar. Kalau mengacu pada masalah pendidikan, di dalam pendidkan itu dikenal satu istilah belajar. Di dalam buku Psikologi pendidikan   Sri Rumini Dkk, menjelaskan masalah belajar sebagai berikut : belajar, adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang relative tetap, baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam berintraksinya dengan lingkukan.

Peroses belajar tidak dapat dipami secara teks saja. Proses belajar merupakan singkronasasi dari dua pengalaman yaitu pengalaman fisik dengan pengalaman meta fisis. Dalam teori pebedaan individu E. Spraner membedakan tipe-tipe pengetahuan manusia dalam enam elemen :
Tipe manusia manusia menurut E. Spranger
Nilai kebudayaan yang dominan
Tipe
Tingkah laku manusia
Ilmu pengetahuan
Manusia teori
Cendrung berfikir
Ekonomi
Manusia ekonomi
Bekerja
Kesenian
Manusia estetis
Menikmati keindahan
Keagamaan
Manusia agama
Memuja
Kemasyarakatan        
Manusia socia
Berbakti/berkorbakti
Polotik/kenegaraan/berkuasa
Manusia kuasa
Ingin memerintah

Keemanan kata gori tersebut merupakan dinamika social yang secara keselurhan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Namun konteks pemahaman kita terhadap kata kogi tersebut masih sebatas tekstulis. Sehingga kita pun hanya ribut membincangkan prangkat mekanisme. Artinya kalau kembali pada sub pembahsan awal, masyarakat masih mempetak-petakan satu konsep disiplin keilmuan. Keenam tipe di atas meruapakan upaya manusia dalam mengkalsifikasikan kontek pemahan.
Dari enam tipe yang dirumuskan oleh E. Spranger di atas pada inti hanya satu, yaitu konsep pengetahuan yang telah diperinci. Sementara pengetahuan sendiri bersifat universal yang tumbuh alami di dalam diri individu manusia. Pengultusan satu pemahaman dengan paham yang lain, satu ilmu dengan ilmu yang lain, adalah kemunduran berfikir kita saat ini.

Pertanyaannya apakah kata gorisasi ilmu agama hanya mencakup ilmu Al-Quran dan Al-hadits?, pertanyaan selanjutnya, apa perbedaan menuntut ilmu di pondok pesantren dan bukan ? apakah ilmu alam, kimia/fisika-matematika, bilogi, gigrafi, sosiologi dan tegnologi bukan ilmu agama. Lantas kalau kita mengakji fenomena alam seperti gempa, dan sunami tidak masuk ilmu agama dan tidak mendapat pahala ?.

Rumusan ilmu agama dalam pemahaman masyarakat hanya mengacu pada teks-teks klasisk Al-Quran dan Al-hadits, sementara di luar itu dianggap bukan ilmu agama. Siapa yang menciptakan Al-Quran itu/bersumber dari mana ?, kemudian kalau dijawab itu adalah bersumber pada firman Allah, apakah alam yang membentang luas ini bukan bersumber dari Allah (Allah yang menciptakan). “bukankah Allah sebagai al-maliki (raja/berkuasa)”.    

Saya akan melengkapai potongan cerita dari teman di atas, teman saya bilang pada pamannya kurang lebih seperti ini “paman sebelumnya saya mohon maaf dengan sangat, kalau soal orang paham agama ‘sarjana Agama’ di rumah sudah banyak, sementara apa yang diinginkan adik sesuai dengan kebutuhan, di mana di rumah belum ada kualifikasi lulusan dibidang Matematika”. Teman saya, cara berpikirnya tentu sangat berbeda dengan keluarga (pamannya), dia baru menyelesaikan pendidikan strata satu dibidang bahasa. Kalau menguku ilmu agama kajian-kajian teks saja, maka jurusan yang diambil teman itu tidak masuk klasifikasi Agama seperti pandangan pamannya. 
Mengapa masyarak begitu membedakan antara ilmu umum-agama (sain dan agama).





Tidak ada komentar: