"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 30 Mei 2012

FATMIATUN NUFIANAH DALAM SUNYI

Ada sebuah buku tipis tergeletak di atas Meja. Warna yang mencolok sempat mengundang perhatian. Saya coba mendekati. Pasti Buku Puisi, mengingat teman saya Fausi senang dengan puisi. Bahkan beberapa sebelumnya sempat saya ajak jalan-jalan ketoko buka di Surabaya diapun membeli buku kumpulan puisi. Fauzi memang sangat menyenangi puisi bahkan saat SMA dulu dia pernah belajar bagaimana merangkai puisi. Mulai menentukan tema, rima dan pilihan-pilihan kata lainya.

Berbeda dengan saya dulu,  dan biasaya saya sering menikmati siaran sastra di Nada FM Sumenep salah satu Radio Swasta yang memiliki kepedulian terhadap sastra utamanya belantika puisi. Biasanya siaran sastra “Sastra Udara Nada FM” mengudara minggu malam sehabis isya’.

Saya menduga buku dengan warna mencolok di atas meja itu merupakan buku baru, kapan beli, seingat saya kemarin dia tidak membeli buku dengan warna seperti itu. Apakah dia pergi sendiri saat saya tidak ada di Surabaya, ah itu tidak mungkin. Sambil diliputi pertanyaan dan penasaran saya jamah buku itu, benar saja buku ini merepuakan kumpulan puisi. Setelah tahu buku itu kumpulan pusi saya taruh lagi di tempatnya.

Di ni hari sekitar pukul 00.13 m buku dengan warna mencolok itu tergeletak di samping teman saya yang tengah pulas tidur. Sambil rebahahan saya meraih buku kumpulan puisi itu, awalnya saya ingin tahu siapa penulisnya. Saya buka ternyata pada halaman pertama setelah sampul di bawah judul tertulis Antologi siswa-siswi Al-in’am. Sayapun mengubah posisi yang awalnya rebahan dengan terlentang ke posisi tengkurap. Saya buka halaman-demi halam. Susunan redaksinya saya perhatikan. Pengantar Antplogi Puisi ini oleh Rahbini saat masih menjadi Kepala SMA, dan puisi pembuka oleh  Abd. Rahem Kepala  MTs. Al-in’an.

Saya tidak sampai menuntaskan membuka lembar-lembar, buku saya tutup dan kembali mengamati judul buku tersebut “Salam Rindu Kidung Malam”, saya bertanya pesan apa yang  hendak disampaikan oleh penyunting  pada pembaca. Saya mengulang-ulang membacai kalimat “Salam Rindu Kidung Malam” entah sampai berapa kali kalimta itu saya ulang, hanya ingin menangkap pesan. Tapi tetap saja saya dengan keambinguan yang sangat. Biasanya sebagaimana buku-buku pada umumnya judul itu setidaknya mampu mereduksi isi dan mengkontruksi mempaca untuk melangkah jauh (ketertarikan). Kalau tidak melihat lebel lebaganya saya tak menangkap kesan apapun dari judul “Salam Rindu Kidung Malam”, selain keambiguan.

“Salam Rindu
Kidung Malam”
Sebuah Antologi puisi Siswa-siswi Al-in’am

Kalau mengamati judul “Salam/Rindu/Kidung/Malam” masing-masing kalimat bisa berdiri sendiri seperti : Salam, Rindu, Kidung dan Malam dimana kesemuanya tak berobyek. Siapa yang bersalam/menitip salam, siapa yang rindu/dirindu, kidung malam bagai sajak yang tak bertuan. Kata salam mestinya diiringi subyek dan obyek, sementara dalam kalaimat Salam Rindu Kidung Malam, siapa yang merindukan kidung malam..? entahlah.

Saya bukan pengamat sastra dan tak tahu sastra, tapi saya senang menikmati puisi. Jadi bila saya mengatakan tak mengerti terhadap judul dan pesan yang hendak disampaikan, itu semua lantaran keterbatasan saya. Namun Di balik tidak bisaan saya menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh penyunting  dari buku yang berjudul Salam Rindu Kidung Malam, saya mengapresiasi pada siswa-siswa Al-inam dan terbitnya buku tersebut, ada semacam giroh dalam untaian kata yang saya sendiri tak bisa untuk itu. Proses kreatif yang elegan natural dan mencerminkan lokalitas pingiran.

Walau saya senang menikmati puisi tapi saya termasuk malas membaca puisi, saya lebih suka menikmati dengan cara mendengarkan. Saya hanya sempat mengamati sampul dan membaca judulnya saja. Setelah saya membuka lembar-demi lambar saya menjumpai nama Gapura Barat di bawah catatan puisi tersebut. Sayapun melihat dengan teliti dan membacai-nya, ternya penulis ini seorang perempuan Fatmiatun Nufianah. Perempuan ini seperti memberikan oase baru atas kekecewaan saya terhadap kultur di Desa. Sebuah oase digurun gersang.

Puisi yang ditulis oleh Fatmiatun Nufianah diantaranya ialah : Saat Bersamamu, Kini Tinggal Kenangan dan Pasrah, saya bertanya-tanya siapakah Gadis ini, pikiran sayapun langsung menerawang pada beberapa sosok perempuan di kampong saya. Saya berfikir anak ini memiliki potensi dan kekayaan instuisi yang jarang dimiliki orang. Anak ini berani mengungkapkan kegelisahan dan kecemasan yang bergulat di dalam jiwanya. Dan bila anak ini mendapat bekal keilmuan yang cukup dan pendidikan memadai maka akan tercipta satu lingkungan dialogis, konstruktif dan imajinir.

Siapakah Fatmiatun Nufianah pertanyaan itu belum terpecahkan. Mengapa saya tiba-tiba peduli, mengapa saya sampai bersemangat menyusun retakan kalimat ini.  Entahlah, yang pasti saya tak punya hasrat untuk menguasi, apalagi memperistrikan sebagaimana tradisi yang ada tidak ke arah sana. Seperti yang saya kemukakan di atas, anak ini bisa menjadi contoh yang baik bagi lingkungannya.

Bicara lingkungan saya merasa sedih, sedih melihat anak-anak yang mestinya menikmati dunia pendidikan harus berjibaku dengan tugas kerumah tanggaan “nikah dini”. Sehingga tak jarang sambil sekolah ya yambi suami. Utamanya SMA (Swasta). Melihat realitas itu saya merasa terpukul ada semacam ketidak relaan. Haruskah generasi emas itu layu dan gugur sebelum waktunya. Haruskah generasi harapan bangsa dan warga ini hilang harapan dan cita-citanya demi memenuhi kultur dan hasrat orang tua.

Saya tidak tahu apakah Fatmiatun Nufianah sudah dinikahkan sebagai terjadi pada perempuan-perempuan yang lain di kampung saya. Kalaupun dia sudah menikah semoga keberlangsungan pendidikannya terjaga dan suaminya memberikan ruang sebagaimana harusnya.  Dan bila Fatmiatun Nufianah masih belum menikah saya menyarankan “teruslah engkau bergelut dengan duniamu, raihlah mimpimu, patahkan segala asa dan jadilah engkau kartini di masa depan”.

Dalam beberapa kesempatan mengobrol dengan para orang perempuan saya selalu menekankan pentingnya pendidikan tak terkecuali perempuan. Bahkan saya memberikan satu stimulus bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki kalau perlu melebihi “pendidikan”, karena perempuan akan menjadi Ibu dari anak-anaknya. Jika ibunya hebat pastilah anaknya akan hebat pula. Pengkotak-kotakan wilaya pada wilayah domistik : Dapur, Kasur dan Sumur, sudah bukan eranya lagi. Perempuan sat ini harus produktif, oleh sebab itu pendidikan harus menjadi prioritas utama oleh serluruh komponen.

Namun bila para orang tua dan tokoh masyarakat mengabaikan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan lebih mengedepankan struktur social dan budaya, maka bukan tak mungkin harapan dan mimpi-mimpi Fatmiatun-Fatmiatun yang polos dan jernih hanya akan menjadi kidung sunyi.



Tidak ada komentar: