"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 01 Mei 2012

PENDIDIKAN DAN JIMAT MODERN

Orentasi pendidikan di negeri kita saat ini masih jauh dari harapan. Semua terkesan hanya bersifat formalitas semata. Pemerintah dalam hal ini yang membidangi pendidikan terkesan mentarget kelulusan tanpa berpikir pada kualitas pendidikan atas anak didik. Maka yang timbul Cuma perceparan kelulusan tanpa diimbangi kualitas yang mempuni dari lulusan-lusan (SMP-PT)

Pembelajaran hanya bersifat koknitif tanpa menyentuh sisi afektif. Di sisi lain genarasi dihadapkan pada banjir informasi. Saya ingin menceritakan satul hal yang salah kapra di era modern ini, utama dalam hal pendidikan. Mari kita buka cerita ini dengan dengan pertanyaan yang sederhana.

1. Apakah sebenarnya tujuan dari pendidikan ..?
2. Apakah pendidikan hanya berorentasi pada nilai-nilai (Iajasah)

Dua pertanyaan di atas adalah kegelisahaan saya. Bila pendidikan diorentasikan pada nilai, kemudian nilai yang mana yang mesti diikuti. Nilai gurukah....... penjelasan ini akan sangat penjang.

Namun yang hendak saya katakan.... mengapa pendidikan di negara kita belum bisa mengapresiasi potensi anak didik. anak didik hanya didoktrin untuk menjadi A/B, tak pernah guru menjoba mengali potensi apa yang ada pada anak didiknya.

Kemudian jika pendidikan hanya berorentasi pada nilai-2 dan ijasah, justru ini "kesyirkian" di abad modern saat ini. Bayangkan sepandai apa pun anda tdk akan diakui di negeri ini, jika blm memegang sertifikat "iajasah".

Orang modern sangat menghindari segala hal yang berbau mistisme percaya pada kekuatan benda dianggap syirik, namun tanpa disadari justru orang modern telah terperangkap pada struktural yang formalism, orang modern akan takluk, dan menajadi bernilai lebih jika ada sertifikat ijasa.

Sengaur apa pun pendapan anda jika memiliki (iajasah) dan bergelar Prof..... pasti pendapat Anda akan dihargai dan dijadikan rujukan.......... inilah keterbalikan syirik di era modern. Ulamak kini sebagai sumber rujukan keilmuan tergeser oleh nilai intitusinoal.

Saya tertarik denngan paparan Prof Imam Suprayogo saat pelantikan pengurus ICMI di Pasuraun, beliau menceritakan perjuangannya dalam membagun dan memadukan tradisi perguruan tinggi modern dengan tradisi pesantren, “bagaimana mungkin pesantren bisa digabungkan dalam pendidikan modern, sedangkan pesantren identik dengan kya’I dan kyai tidak memiliki gelar (SK) “kyai gelar dari masyarkat, kalau begitu nanti saya akan mengeluarkan SK untuk kyai agar diakui”.

Dari paparan di atas kita bisa merasakan betapa para dikma kemodernnan saat ini telah banyak mereduksi keadaban yang non konstitusional dipaksa untuk seragam dengan tata kelomodern yang kohesif, definifif dan birokratif.
Dulu guru mengeluh lantaran tidak adanya kepastian atau jaminan kesejahteraan secara hokum atas profisinya, namun kini dengan disahkannya uu profisonalisme guru, kesejahteraan guru mulai diperhatikan. Namun apakah kemudian kesejahteraan yang diterima oleh guru akan berpengaruh pada profisionalisme dalam mengajar, saya pikir ini soal lain.

Sejak ditetapkan uu tentang guru/dosen saya tak melihat perubahan yang siginfikan dalam pendidikan, yang saya lihat justru kesibukan dan dari guru/dosen untuk mendapatkan sertifikat sebagai guru/dosen yang profisional. Sedangkan dalam kaitannya pengajaran dan alat kelengkapan mengajar yang menunjang bagi anak-anak didik masih banyak terbengkalai. Anehnya guru tak begitu banyak bersuara soal ini, mungkin lantarab merka telah enak dengan berbagai tunjangannya dan lupa pada tanggung jawabnya.

Saya sangat apresisasi terhadap guru yang benar-benar konsen pada potensi anak didiknya. Dan saya pikir kepedulian semacam ini harus menjadi sikap setiap pendidik, saya yakin setip individu anak didik mereka ada dengan potensinya masing-masing. Sekolah “guru” bukan untuk mencetak anak menjadi A/B sekolah hanya memfasilitasi murid-muridnya, ……….."Jika dia {Guru} arif, maka dia tak akan pernah memaksamu masuk ke dalam rumah kearifannya, tetapi membimbingmu hingga ambang pikiranmu sendiri (Kahlil Gibran dalam The Prophet)

Jika dulu guru menempatkan dirinya sebagai orang yang paling menguasai dalam keilmuan maka cara tersebut tidak cocok di era digital saat ini. Guru bukan satu-satu sumber pengetahuan, karena pengetahuan bisa didapat melalui berbagai cara dan sumber (internet, TV dll). Maka saya pikir tugas guru harus menggawangi pengetahuan dan mentransfer nilai kearifan “bukan mendoktrin”.

Yang menjadi pertanyaan ialah berapa populasi guru yang memeiliki kepedulian dan konsen pada potensi anak, tentu hal ini harus dilakukan riset tersendiri. ……….."Anda tidak bisa mengajari orang sesuatu. Anda hanya bisa membantu mereka untuk menemukan sesuatu itu dalam diri mereka sendiri" (Galileo)
Ijasah, inilah jimat modern saat ini, namun kita tak menyadarinya. Jika dulu jimat beripa buntalan kain dan bertuliskan sandi-sandi Jawa dan Arab, maka di era modern ini imat itu lebih praktis dan dinamis hanya selembar kertas dengan ditandai tulisan latin dan angka-angka. Mohan maaf dalam hal ini saya bersikap beda.

Sebuah cerita : konon di zaman dulu, seorang yang ingin mendapatkan jimat atau hendak membuat jimat harus melakukan ritual yang rumit : menyepi ketempat-tempat tertentu (bersemidi), bertapa di gua-gua, berpuasa, dan ada dengan cara bangun malam, yang pada intinya mereka melakuakn ritual dan doa “meminta pada yang kuasa”. Di era modern saat ini, orang bertapa dianggap gila, orang yang berjimat dipandang syiri dll.

Akan tetapi orang modern juga lupa, dan larut dalam kontruksi sosila kemodernnan. Pada hal orang modern pun melakukan pemburuan jimat yang pada intinya untuk menegaskan keunggulan pengetahuan yang terinstusikan. Untuk mendapatkan jimat di era modern lebil dinamis cara berjemaah, diruang khusu dengan fasilitas yang canggih, dengan rotasi waktu yang tertentukan TK, SD, SMP, SMA dan PT (perguruan tinggai). Saya pikir ini adalah pergeseran nilai jimat yang aji-aji kejimat yang terinstitusikan “Ijasah”.

Waallahua’lam….

Tidak ada komentar: