"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 27 Mei 2012

LADY GAGA(L) KONSER (Epesintrum agama, bisnis dan kealpaan Negara)

Akhirnya promotor Lady Gaga membatalkan konsernya ke Indonesia. Keputusan pembatalan konser itu diambil kerena faktor keamanan.

Batalanya konser Lady Gaga ini tak lepas dari desakan sebagian golongan agama “islam” yang menolak kehadiran Lady Gaga ke Indonesia. Golongan Islam yang menolak kehadiran Ledy Gagaga ke Indonesia beranggapan dalam setiap pentasnya Lady Gaga sering menampilkan aurat dan menampilkan tarian-tarian fulgar, bahkan mereka yang menolak berpandangan kahadiran Lady Gaga akan “mengancam” merusak moral muslim dan remaja bangsa Indonesia.

Benarkah kehadiran Lady Gaga ke Indonesia sebegitu membahayakan dan akan mengancam moral bangsa “islam”..?  apakah belakangan ini public dan golongan yang menolak kehadiran Lady Gaga tidur dan sekarang baru sadar dan teringat akan moral. Lalu bagaimana dengan penampilan music di negeri sendiri yang sering mempertontonkan tarian-tarian erotis, mengapa mereka absen mengapa mereka tak bersuara.

Mangapa publik baru mempunyai kesadaran dan kepedulian terhadap moral, saat akan ada konser Lady Gaga. Kecemasan oleh sebagian golongan “islam” ini berbeda dengan pernyataan Ketua NU Syaid Agil yang menegaskan “Walau ada konser satu juta Ledy Gaga tidak akan berpengaruh terhadap moral dan akidah warga Nahdiyin”.

Jika moral golongan itu yang merasa terancam atas kedatangan Lady Gaga ke Indonesia mengapa harus membawa ummat yang lain, karena saya sebagai ummat muslim tidak pernah merasa terganggu dan sebelumnya saya tak tahu bagaimana Lady Gaga dan gayanya itu. Namun pemberitahan dan pertentangan akhirnya mendorong diri untuk mencari tahu.

Saya menangkap ada hal yang paradok atas gagalnya konser Lady Gaga, diantaranya kegilisahan “ketakutan” sebagian golongan yang terlalu berlebihan dan hal itu menunjukkan sikap paranoid mereka.  Publikpun dibawa dalam arus senggeta moral baik-baruk. Publik yang awalnya tidak tahu apa dan siapa Lady Gaga akhirnya penasaran ingin tahu. Orang yang awalnya abai dan tak tahu menahu soal Ledy Gaga merekapun menerobas cara dengan akses informasi melalui internet.

“Jangan-jangan penolakan atas kedatangan Lady Gaga, sama dengan kasus fatwa larangan rokok”, Tuhanlah yang tahu niat dan kebenaran atas penolakan Lady Gaga.
Benarkan penolakan konser Lady Gaga ke Indonesia semata-mata dorongan moral dan semangat dakwah. Atau ini ada sebauh permainan dan persaingan bisnis di balik gagalnya konser itu sendiri. Jika ini adalah persaingan bisni mengapa yang muncul ke publik adalah pertentangan moral, mengapa pertentangan itu harus dibungus pula dengan legitimasi keyakinan “islam”. Atau jangan-jangan golongan yang selama ini menolak keras terhadap konser lLady Gaga sebuah pesanan, yang memanfaatkan celah moral dan agama.

Jika ada sebagian orang menganggab dan menilai konser Lady Gaga ke Indonesia sebagai ancaman terhadap moral agama dan bangsa, hal itu terlalu berlebihan, karena kegaduhan atas konser Lady hanya terjadi di dekat  pusat kekuasaan sementara di lainnya tidak demikian dan  mana mungkin konser lady yang hanya semalam dapat merusak moral “aqidah” agama dan bangsa, secara logika awampun isu moral itu tidak masuk akal.   

Menarik apa yang dikatakan oleh ketua NU “Walau ada konser satu juta Ledy Gaga tidak akan berpengaruh terhadap moral dan akidah warga Nahdiyin” saya pikir ungkapan ini bukan semata ingin cari sensasional atau ingin popular di publik, terlepas ada prokontra atas stedment ketu NU seharusnya ummat dan golongan yang lain dapat melihat dan menilai sesuatu tidak hanya pada tataran kontek dan teks itu sendiri, harus ada pembelajaran teladan keummatan. Ketua NU telah berhasil memberikan satu oase pemikiran yang koheren dan bijak.

Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim bukan berarti bebas melakukan tindakan berbuat anarki dan perusakan, sebagaimana terjadi belakangan ini “dengan dalih agama dan moral”. Yang mayoritas tidak berarti harus menjadi Tuhan atas yang lain, yang mayoritas bukan berarti punyak hak untuk memproduksi moral atas yang lain, harusnya kita mengacu pada konsep dan atruan konstusi kita yaitu ke-binika-an.

Saya kurang sependapat dengan ungkapan Bung Roma Irama yang menilai konser Lady Gaga dari sudut pandang agama dan muslim yang mayorita, “kita ummat islam adalah mayoritas tentu mereka yang akan datang ke sini harus mengikuti kultur dan budya kita” (dalam dialog di metro TV). Memang dalam islam setiap aturan sudah sangat jelas terutama soal aurat. Namun apa relevan konser Lady Gaga dengan konsep aurat yang notabeni adalah prodak hokum islam, bukankah Lady Gaga bukan muslim apakah dia akan kita paksa berjilbab dan memakai burgah. Saya pikir para pendakwa moral itu harusnya bersikap fair sesuai koridor yang ada bukan dengan melakukan ancaman. Artinya apa, mereka yang tidak senang dan merasa terganggu dengan konser jangan hadir-melihat, penyeleksian semacam ini lebih ideal dan tak membikin publik bising.

Alangkah sejukkan bila semua muslim dapat memberikan jaminan aman atas jalannya konser tapi tetap dengan catatan. Bukan seperti yang sering kita dengar “ancaman dan kekerasan”.

Negara sebagai pelindung atas hak-hak warganyapun jarang dan lebih sering tak hadir, semisal dalam kasus gagalnya konser ini Negara seperti tak berdaya, Negara larut dalam hiruk pikuk ancaman yang sangat bias. Lihat saja, kekerasan karena faktor agama di Negara ini sering terjadi dan lagi-lagi negera tak hadir. Kemarin kekerasan dan perusakan terjadi saat bedah buku Irsyat Manji.

Ummat islam yang mayoritas harusnya tak menjadi momok atas warga yang minoritas, karena bila itu terjadi “dan sering terjadi” hal itu telah bertentangan dengan nilai-nalai  islam itu sendiri (islam rahmatanb lil alamin). Nilai agama harusnya menjadi episentrum yang mengayomi dan melindungi atas segala hal, tugas dakwa bukan menakut-nakuti tugas dakwa hanya member tahu, sedangkan hidayah tetaplah ada pada otoritas Tuhan itu sendiri. Bukan pada kelompk dan golongann “manusia”.

Tidak ada komentar: