Pengalaman Ketiga
Menjelang penerimaan ijazah saya kena
musibah, dan kembali berurusan dengan polisi. Saya kecelakaan, ditabrak oleh wanita
pengendara sepeda motor yang melaju kencang dari arah selatan, saat itu saya
hendak mengantarkan kendaraan teman yang di sebrang jalan. Saya tepat berada di
sebelah barat sisi jalan tepat di depan pintu gerbang sekolah, sebelum
menyembarang saya sudah menoleh ke kanan dan kiri jalan, saat menoleh ke arah
selatan masih lengang, kemudian saya melihat ke sisi utara jalan, juga legang.
Karena kondisi legang saya pun melajukan kendaran punya teman saya ke sebrang
jalan dengan pelan, belum separuh jalan tiba-tiba sebuah sepeda motor yang
dikendari wanita menabrak. Wanita pengendara sepeda motor itu tidak kuasa
mengendelikan kendaraannya karena lajunya sangat cepat. Akhirnya saya pun
tertabrak pas di tengah mesin kendaraan.
Saya yang tertabrak oleng keri,
dan wanita pengendara yang menabrak terpental dan jatu ke samping kanan jalan,
sebelum jatuh pingsang, hidung wanita yang menabrak saya mengeluarkan darah.
Beberapa orang termasuk satpan sekolah membopong tubuh wanita sebelum akhirnya
dia pingsan. Sebelum terjatuh dan dia sempat menilpon, “Papi-papi… saya
kecelakaan di depan sekolah MAN”, seru wanita itu pada orang yang ditelponnya.
Teman-teman sekolah yang berada di sebrang jalan dan di depan gerbang teregun
melihat kecelakaan yang singkat dan cepat itu. Bahkan teman yang punya
kendaraan pun tertegun, tidak ingat apa-apa. Saya katakana demikan setalah
kejadian saya langsung memberikan kunci kontak pada si emmpunya. Kemudian saya
menghindari kerumunan massa, karena takut mereka yang tidak tahu kronologinya
kemudian main hakim, atau saya kena massa. Saya menghindari dari massa masuk ke
dalam sekolah. Karena takut bercampur panik saya pun keluar dari sekolah
melalui pintu belakang.
Dalam kecelakaan saya sangat
bersyukur tidak mengalami luka berarti, kendaraan teman saya pun tidak
mengalami kerusakan yang parah, hanya penyangga kaki yang belok, kemungkinan diakitbatkan
terjatuh, saat tertabrak. Saat meninggalkan sekolah harapan saya, tidak ada
apa-apa. Namun ternyata perkiraan saya meleset, saya harus berurusan dengan
pihak berwajib. Sepeninggalan saya, sesuai keterangan teman yang punya
kendaraan. Ada seorang polisi dengan pakaian preman datang. Polisi itu
marah-marah, memaki-maki satpan dan kepala sekolah. Polisi itu pun menanyakan
saya ke mana, karena saat itu tidak ada yang tau saya kemana akhirnya, polisi
yang kemudian diketahui intel yang bertugas di Manding, membawa kendaraan teman
saya sebagai jaminan.
Intel itu hanya berkomonikasi
singkat dan meninggalkan sekolah dengan memberitahukan identitasnya dan kontak
hp. Setelah usai sekolah saya menemui teman, menanyakan kejelasan untuk
menyelesaikannya. Berdasarkan petunjuk dari guru yang juga wali kelas saya
ketika kelas X saya dengan teman menuju laka lantas untuk melihat dan
menanyakan kendaraan teman yang dibawa oleh intel yang mengaku sebagai suami
dari wanita yang menabrak saya. Sesampai di Laka Lantas saya kaget sekaligus
cemas, karena di Laka Lantas tidak ada laporan adanya kecelakaan, atau orang
yang menitipkan sepeda motor.
“Ada yang bisa kami bantu” tanya
petugas di Laka saat itu
“Begini pak, tadi siang sekitar
pukul 10.30 saya kecelakaan di depan sekolah, kemudian kendaraan di bawa oleh
seorang intel”
“Memang katanya di intel mana”
“Kata tugas di Manding”
“Sampean telusuri ke Manding, apa
benar dia intel, jangan-jangan dia intel/polisi gadungan, laporan adik kami
catat. Agar jelas kalian langsung ke Manding tanyakan kebenaran informasi itu”
Penjelasan dari petugas Laka
membuat saya semakin takut dan panik. Saya takut keterangan dan penjelasan dari
petugas Laka benar adanya. Kalau benar orang yang mengaku intel itu gadungan
atau penipu bagaimana. Tanpa banyak pikir saya dengan teman langsung meluncur
ke Manding. Meski Manding bukanlah jarak yang dekat untuk kami tempuh, apa lagi
kami masih belum tahu betul di mana posisi polsek Manding. Berpegang pada
petunjuk yang ditinggalkan kepada guru oleh orang yang mengaku intel, saya
terus melajukan kendaraan. Pikiran saya masih kacau bercampur takut.
Sekitar satu jam lebih dengan
menanya kepada setiap orang akhirnya saya sampai di polsek Manding. Sesampai di
Polsek, tidak melihat aktifitas berarti. Apa lagi jam kantor memang sudah
lewat, saya sampai di Polsek sekitar pukul 16.15. seorang petugas yang menerima
kami berdua, kami pun menayakan oknom yang mengaku intel itu. Berdasar
keterangan petugas yang kemi temu, bahwa W.W memang intel dan bertugas di
Manding. Namun sebelum trakhir jarang ngantor dan hanya malam saja datang, itu
pun sangat jaranga. Menurut petugas itu, W.W tinggal di karang Duak.
Kepentingan saya mencari dan bertemu W.W adalah untuk menyelesaikan pristiwa
yang menimpa.
Pertama saya ingin mengetahui
kebenaran bahwa W.W adalah intel, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan
akhirnya saya tau siapa W.W itu, dia memang seorang intel di Manding. Namun
saya masih belum puas atas apa informs yang diberikan terkait W.W oleh petugas
di Manding. Saya masih ingin melihat kendaraan teman, dan membawanya pulang. Dalam
perjalanan teman saya ditelp oleh seseorang. Rupaya orang yang menelp itu
adalah W.W. Saya pelankan kendaraan, suara dari ujung telp, sangat keras dan
ada mengancam. Setelah berselang lama, kami pun meminta bertemu di Laka, intel
itu kaget, karena kami megajak bertemu di sana.
Teman saya kemudian menghubungi
salah seorang guru MAN, singkatnya kami disarankan untuk menemuinya di Laka.
Sekitar pukul 17.17 saya dengan teman saya tiba di Laka. Petugas yang waktu
siang menerima saya masih ada.
“bagaimana sudah ketemu dik” tanya pertugas itu.
“bagaimana sudah ketemu dik” tanya pertugas itu.
“iya, beliuanya memang petugas
intel di Manding, ini kami janjian untuk ketumu di sini.
“yau dah berarti kendaraannya
ngak akan hilang, tunggu saja” tegasnya pada kami.
Sambil duduk di sebuah teras di Laka
kami pun menunggu W.W dengan perasaan cemas, saya masih panik dan takut. Takut
apa bila polisi itu kalap kemudian menyakiti saya. Perasaan was-was dan takut
menjadikan saya gelisah dan tak nyaman. Sesekali saya mondar-mandir kemudian
duduk lagi. Teman saya masih melihat-lihat hpnya. Sedang saya sangat was-was.
“iaya pak kami sudah di Laka, kami ada di dalam” Kata teman saya melalui hpnya.
Rupanya W.W menelp lagi. Dia sempat meminta bertemu di sebuah lapang tak jauh
dari Laka di Sumenep. Selang beberapa menit sesok laki-laki dengan tubuh tinggi
dan kekar berkjalan menuju arah kami. Rupanya W.W sudah menepl kesebagian
petugas sehingga dia paham posisi kami, dan langsung kami dilabraknya.
Memang sebelum W.W datang, salah
satu petugas terlihat menerima telp, “iyo ada, ini nangkeni, wong luru
cilik-cilik” kata petugas sambil tersenyum melihat kami yang sedang panik dan
takut. Mungkin W.W telp untuk menanyakan kami bersama siapa saja di Laka. Selang
beberapa 5 m dari petugas yang menerima telp. Datang seorang laki-laki dengan
tubuh tegab dan kekar. Lalaki itu langsung menuju arah kami yang duduk di
emperan LAKA.
Lelaki itu bertubuh tinggi
perkiraan 70 cm, badannya gempal. Sorot mata tajam. Lelaki yang mendekati kami
berdua adalah W.W rupanya dia adalah orang menelp dan ditelp oleh wanita yang
menabrak saya pagi menjelang siang tadi. Saat itu kami belum tau dia sebagai
apa atas wanita yang menabrak saya. Apakah dia sebagai suami, teman atau pacar
kami tidak tau. W.W lang memarahi kami berdua, kemudian mendorong kepala saya.
Dia terlihat sangat emosi poda kami. Setelah marah-marah kami diajak menuju
salah satu rumah di karang Duak.
Di sebuah rumah itulah dia
kembali memari kami dan membentak-bentak sembari mengancam. Awalnya kami bicara
secara baik-baik, bermaksud untuk berdamai agar persoalannya tidak panjang dan
cepat selesai. Kami dikira anak seorang pejabat, dengan nada dia bertanya pada
kami berdua. “apakah kamu anak tentara atau polisi, meskipun begitu kamu akan
kucebloskan kepenjara” cetusnya dengan nada emosi.
“saya bukan anak pejabat, saya
hanya orang kampung” kata saya sambil mencoba menarik iba supaya ada
kelonggaran.
“Kamu tau, tadi dia dibawa ke rumah sakit, dia
mengalami pendarahan. Sepedanya konci stirnya bengkok, kamu harus menganti
semua biaya dengan tolah Rp. 1.500.000,00.”. kata wawan dengan nada marah.
Saya tertunduk tidak bisa
menjawab atau mengiyakan apa yang diminta oleh si W.W. saya dengan teman saya
saling melempar pandang. Saat itu saya hany membawa uang Rp. 600.000, sisa
beasiswa dari sekolah.
“sekrang terserah kamu, mau damai
atau dilanjutkan” tantang W.W.
“saya ingin menyelesaikan dengan
cara keluarga, namun dengan jumlah yang bapak sebutkan, kami tidak bisa
menjawab. Kami hanya anak petani yang tak banyak uang” ungkap saya.
Entah si W.W merasa iba atau apa,
tiba-tiba dia mengalihkan suasana. Dia menanyakan suatu tempat yang menurutnya
sebagai tempat sarang perjudian yang menjadi incarannya.
“kamu berasal dari mana”
“saya gapura, tepatnya gapura
barat III” jawab saya.
“kamu tau si Rasidi, dia itu jadi
Bandar judi, dan sedang diawasi” tegas W.W.
“Saya tidak kenal nama itu, cuma pernah
mendengar, memang dia orang Gapura tapi saya tidak tau posisi rumahnya” jawab
saya dengan lugu.
Rupaya W.W ini banyak tau kondisi
di gapura. Saya sendiri tidak bisa membantah adanya orang yang bernama
Rasidi dengan kebiasaannya berjudi.
Banyak orang mengatakan demikian. Namun hal yang menjadi tanda tanya, kenapa
W.W juga tau Rasidi. Apakah benar dia sedang menyelidi atau juga bagian
sebagaimana terjadi dibanyak tempat, polisi ikut jadi beking dunia hitam.
Rasidi sekita di polsek Gapura, mustahil bagi polisi tidak tau sepakterjang
dia, dan lebih tau W.W yang jauh di Kota. Namun begitu tidak ada tindakan dari
kepolisian gapura atau semacam himbauan lainnya.
Selian itu W.W juga kenal seorang
wanita teman kakak kelas di sekolah, di kampung saya. Wanita ini konon menjadi
panggililan. Teman saya ini memang cantik. Saya pun mengagumi kecantikannya
lepas dari dunia yang dihinakan oleh banyak orang. Mengapa W.W juga kenal dia,
apakah dia tau atau pernah memakai jasa si wanita kakak kelas saya. Dari
pembicaraan yang melebar saya menarik kesimpulan ada yang tidak beres dengan si
W.W. deng tanpa memberikan jawaban atau mengiyakan permintaannya kami berdua
berpamitan pulang, dengan alasan hendak bermusyarah dengan keluarga terkait
permintaan si W.W.
Setelah dari rumah itu kami,
tidak langsung pulang. Kami langsung menuju rumah olah raga di MAN. Sebut saja
Pak, Cipto. Melaui dan berkat bantuannya saya tidak mejadi korban pemerasan W.W.
Sesampai di rumah pak Cipto, saya kemudian diajak ke salah satu rumah polisi,
dia teman dari pak Cipto, bertugas di bagia provos di Sumenep. Setelah saya
bertemu dengan polisi yang dikenalkan oleh pak cip, akhirnya kami tenang.
“sudah adik tenang saja, biar kami yang uruskan. Besok adik balik ke sini lagi. Untuk membuat laporan dan
pengaduan, sekarang pulang dan istirahat dulu”. Tegas polisi teman pak Cipto padi
kami berdua.
Pada hari seninnya kami berdua
ditemani oleh beberapa guru menuju provos di Sumenep. Yang mengantarkan kami
berdua diantaranya, kesiswaan Bpk. Hosni (almarhum), Bpk. Cipto. Petugas
satpam, Bpk. Tawil dan guru pengajar Qur’an Hadits, serta Guru pengajar Bahasa
Indonesia. Sekitar pukul 08.00, dengan ditemani 5 orang guru dan seorang satpam
akhirnya kami tima di provos Sumenep.
Kami disambut dengan ramah oleh
kepala provos. “terimakasih atas koreksi anggota kami yang nakal, kami atas
nama lembaga meminta maaf” begitulah sambutan dan permintaan maaf dari kelapa
provos pada kami dan guru-guru yang mengantarkan kami. Ada beberapa ucapan yang
kemudian menguak kecurigaan kami berdua atas W.W. Rupanya wanita yang menabrak
saya bukan istrinya, dia sudah memiliki istri dan seorang anak di Jawa Barat.
Dia juga merpakan polisi baru yang dipindah tugaskan, dan baru sekitar 3 bulan
di Sumenep. Dan waita yang menelp dengan memanggil “Papi-papi….” adalah wanita
simpanan si W.W. Setelah ramah tamah dan
candaan balon si W.W, beberapa guru yang mengantar kami berdua diperkenankan
pulang. Dan kami diminta ke salah satu ruangan untuk di BAP (Berita Acara
Pemeriksaan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar