"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 07 Juli 2013

MENGEVALUASI SIKAP ATAS WARISAN BUDAYA


Cerita ini lahir dari sebuah kesunyian, dan ketiadaan dialog yang konstruktif. Manusia dengan kebiasaannya tetaplah sebagaimana kodratnya dimasa lalu, mudah mengklaim diri sebagai pencetus dan instrument dari perubahan. Tapi untuk mengimplementasikan perubahan sering terjadi tawarmenawar bahkan tak jarang berhenti di ruang-ruang wacana saja. Dan kita hari ini, hanya menjadi bagian pengagum tanpa ada nilai kritis atas apa yang dilakukan orang di masalu itu.

Kita hanya menjadi pengagum keelokan yang sudah melegenda. Liahat saja bagaimana mobiltas sosial di era digatil saat ini, situs-situs peninggalan dari legenda ramai bahkan menjadi sebuah kapitalisasi baru era modern. Tak jarang cerita dan kehebatan masalalu menjadi legitimasi dan pembenaran hari ini. Dan bodohnya, kita pun turut mengamini kondisi yang dihebat-hebatkan oleh nenek moyang, guru dan orang tua kita.

Apa kontribusi kita untuk perubahan dan peradaban yang lebih baik pada bangsa ini. Mengapa kita hanya menjadi pemuja sejarah tanpa mau belajar, tanpa ada inisiatif untuk turut ambil bagian menjadi pelaku sejarah. Masihkah kita terkerangkeng oleh metos ketak sejajaran dan ketakutan lainnya. Takut dikatakan sebagai orang yang tidak sopan atau dianggap melawan tradisi dan warisan masa lalu.

Saat ini kita kehilangan kekritisan yang sebenarnya adalah warisan dari sebuah peradaban juga penentu masa depan satu Negara dan bangsa, bahkan di agama sebenarnya menantang kita untuk kritis atas teks-teks Tuhan. Tapi saat ini kekritisan masih dinilai sebagai musuh. Saat sesorang muncul dengan gagasan yang keluar dari kelaziman, sering kita hakimi bahkan kita mengutuknya. Maka saat bersamaan, dimana ketika kita berhadapan dengan kekritisan, akal dan pewacanaan kita mati-matian melakukan pembelaan dan membentengi diri bahwa tindakan dan apa yang dilakukan orang dimasalalu itu sebagai hal yang benar. 

Kita terlalu banyak menuntut keteladanan dari orang lain atau tokoh di masa lalu, tanpa ada satu ikhtiar diri yang pantas diteladani. Sejarah bukan untuk sekedar diagung-agungkan tapi harus ditela’ah, dikritisi guna satu sejarah dan perubahan baru ‘yang baik’ di masa mendatang. Hari ini kita masih sibuk menyolah kepantasan, layak tidak layak. Sehingga sosial kita masih berisi kebisingan yang lebih banyak mempertontonkan perbedaan tanpa ada satu tindakan yang melahirkan solusi bersama atas sosial kita. 

Percaturan agama di ruang-ruang pablik pun masih mempersoalkan perbedaan, dan asas ketunggalan yang sebenarnya bukan satu hal urgen yang dibutuhkan ummat. Agama pun menjadi terpetakkan berdasarkan basis kekelompokan. Dan masing-masing kelompok agama merepresentisikan diri sebagai yang paling benar. Muncullah pertentangan wacana di dalam tubuh agama islam itu sendiri. Pertanyaannya apakah kita akan mempertahankan konsep dan keberagamaan kita seperti ini. 

Warisan masalalu yang mengngerdilkan dan menutup ruang dialog harus kita tinggalkan. Keberadaan kita bukan hanya menjadi seorang pemuja atau pengagun masa lalu. Kita harus merubah cara pandang, menjadikan diri sebagai pelaku perubahan. Tentu kita tak harus muluk dan berambisi diluar kemampuan yang ada pada kita. Siapa pun dan dimana pun Anda kini berada, Anda memiliki tugas dan kewajiban sama yaitu menjadi pelaku perubahan untuk dan bagi bangsa yang kita cintai. 

Realitas yang ditampakan oleh kaum yang mengklaim diri sebagai pembela agama (polisi moral), justru memunculkan realitas yang memprihatinkan dan bertentangan dengan misi agama itu sendiri, seperti kekerasan dan main hakim sendiri terhadap hal yang dipandang bersebrangan dengan paham dan keyakinan mereka. Takbir dan kebesaran Tuhan terjadi pergeseran di tangan-tengan orang yang mengaku sebagai menjaga moral itu. Jihad di tangan Polisi moral itu adalah pentungan.  

Kita pun terjebak pada pendikotomian pantas dan tidak pantas, lagi-lagi di sini terjadi pendistorsian makna dan sejarah yang kompleks. Sosial kita tak lagi fokus pada solusi tapi malah terjebak pada kontruksi perdebatan dan kepantasan yang semu. Kebudayaan di masalalu kita anggab sebagai sesuatu yang luhur hingga kita takut melakukan pendekatan sekedar mendalami untuk satu hal yang lebih besar (perubahan). Begitu pun dengan keberagamaan kita, agama lebih dimaknai sebagai pengekang sehingga kita terpaku pada pembatasan dosa-pahala atau surge-neraka saja.

Pengadopsian budaya kita sering kali melupakan aspek kekritisan. Kita hanya menjadi orang yang terampil meniru tanpa ada kehendak untuk menjadi bagian yang mencerahkan. Bangsa ini butuh generasi yang bisa melahirkan gagasan yang cemerlang guna mewujudkan bangsa yang bermartabat di dunia. Kemandirian adalah kunci dalam mewujudkan cita-cita dan harapan dalam mewujudkan bangsa yang berwibawah. 

Saatnya kita melakukan perenungan atas apa yang ada pada dan disekitar kita, bahkan soal keberagamaan kita. Jangan sampai kita menjadi orang yang merasa paling benar sehingga menutup dialog atas kebenaran yang lain. Ketak beresan sosial juga merupakan akibat dari kesalahan kita dalam memaknai agama dan beragama. 

Menutup cerita singkat ini saya mengajak pada diri sendiri untuk senantiasa merenungi konstelasi sosial meliputi aspek ; keagamaan, budaya dan warisan kultur nenek moyang. Dan selalu membuka diri atas pandangan-pandang kekinian dengan tidak melupakan akar budaya luhur masa lalu, seperti etos juang dan kecintaan pada tanah air yang kita cintai. 


1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam budaya... salam indonesia...!!!