Cerita ini lahir dari sebuah kesunyian, dan ketiadaan dialog
yang konstruktif. Manusia dengan kebiasaannya tetaplah sebagaimana kodratnya
dimasa lalu, mudah mengklaim diri sebagai pencetus dan instrument dari
perubahan. Tapi untuk mengimplementasikan perubahan sering terjadi tawarmenawar
bahkan tak jarang berhenti di ruang-ruang wacana saja. Dan kita hari ini, hanya
menjadi bagian pengagum tanpa ada nilai kritis atas apa yang dilakukan orang di
masalu itu.
Kita hanya menjadi pengagum keelokan yang sudah melegenda. Liahat saja bagaimana mobiltas sosial di era digatil saat ini, situs-situs peninggalan dari legenda ramai bahkan menjadi sebuah kapitalisasi baru era modern. Tak jarang cerita dan kehebatan masalalu menjadi legitimasi dan pembenaran hari ini. Dan bodohnya, kita pun turut mengamini kondisi yang dihebat-hebatkan oleh nenek moyang, guru dan orang tua kita.
Kita hanya menjadi pengagum keelokan yang sudah melegenda. Liahat saja bagaimana mobiltas sosial di era digatil saat ini, situs-situs peninggalan dari legenda ramai bahkan menjadi sebuah kapitalisasi baru era modern. Tak jarang cerita dan kehebatan masalalu menjadi legitimasi dan pembenaran hari ini. Dan bodohnya, kita pun turut mengamini kondisi yang dihebat-hebatkan oleh nenek moyang, guru dan orang tua kita.
Apa kontribusi kita untuk perubahan dan peradaban yang lebih
baik pada bangsa ini. Mengapa kita hanya menjadi pemuja sejarah tanpa mau
belajar, tanpa ada inisiatif untuk turut ambil bagian menjadi pelaku sejarah.
Masihkah kita terkerangkeng oleh metos ketak sejajaran dan ketakutan lainnya.
Takut dikatakan sebagai orang yang tidak sopan atau dianggap melawan tradisi
dan warisan masa lalu.
Saat ini kita kehilangan kekritisan yang sebenarnya adalah
warisan dari sebuah peradaban juga penentu masa depan satu Negara dan bangsa, bahkan
di agama sebenarnya menantang kita untuk kritis atas teks-teks Tuhan. Tapi saat
ini kekritisan masih dinilai sebagai musuh. Saat sesorang muncul dengan gagasan
yang keluar dari kelaziman, sering kita hakimi bahkan kita mengutuknya. Maka
saat bersamaan, dimana ketika kita berhadapan dengan kekritisan, akal dan pewacanaan
kita mati-matian melakukan pembelaan dan membentengi diri bahwa tindakan dan
apa yang dilakukan orang dimasalalu itu sebagai hal yang benar.
Kita terlalu banyak menuntut keteladanan dari orang lain
atau tokoh di masa lalu, tanpa ada satu ikhtiar diri yang pantas diteladani.
Sejarah bukan untuk sekedar diagung-agungkan tapi harus ditela’ah, dikritisi
guna satu sejarah dan perubahan baru ‘yang baik’ di masa mendatang. Hari ini
kita masih sibuk menyolah kepantasan, layak tidak layak. Sehingga sosial kita
masih berisi kebisingan yang lebih banyak mempertontonkan perbedaan tanpa ada
satu tindakan yang melahirkan solusi bersama atas sosial kita.
Percaturan agama di ruang-ruang pablik pun masih
mempersoalkan perbedaan, dan asas ketunggalan yang sebenarnya bukan satu hal urgen
yang dibutuhkan ummat. Agama pun menjadi terpetakkan berdasarkan basis
kekelompokan. Dan masing-masing kelompok agama merepresentisikan diri sebagai
yang paling benar. Muncullah pertentangan wacana di dalam tubuh agama islam itu
sendiri. Pertanyaannya apakah kita akan mempertahankan konsep dan keberagamaan
kita seperti ini.
Warisan masalalu yang mengngerdilkan dan menutup ruang
dialog harus kita tinggalkan. Keberadaan kita bukan hanya menjadi seorang
pemuja atau pengagun masa lalu. Kita harus merubah cara pandang, menjadikan
diri sebagai pelaku perubahan. Tentu kita tak harus muluk dan berambisi diluar
kemampuan yang ada pada kita. Siapa pun dan dimana pun Anda kini berada, Anda
memiliki tugas dan kewajiban sama yaitu menjadi pelaku perubahan untuk dan bagi
bangsa yang kita cintai.
Realitas yang ditampakan oleh kaum yang mengklaim diri
sebagai pembela agama (polisi moral), justru memunculkan realitas yang
memprihatinkan dan bertentangan dengan misi agama itu sendiri, seperti
kekerasan dan main hakim sendiri terhadap hal yang dipandang bersebrangan
dengan paham dan keyakinan mereka. Takbir dan kebesaran Tuhan terjadi
pergeseran di tangan-tengan orang yang mengaku sebagai menjaga moral itu. Jihad
di tangan Polisi moral itu adalah pentungan.
Kita pun terjebak pada pendikotomian pantas dan tidak
pantas, lagi-lagi di sini terjadi pendistorsian makna dan sejarah yang
kompleks. Sosial kita tak lagi fokus pada solusi tapi malah terjebak pada
kontruksi perdebatan dan kepantasan yang semu. Kebudayaan di masalalu kita
anggab sebagai sesuatu yang luhur hingga kita takut melakukan pendekatan
sekedar mendalami untuk satu hal yang lebih besar (perubahan). Begitu pun
dengan keberagamaan kita, agama lebih dimaknai sebagai pengekang sehingga kita
terpaku pada pembatasan dosa-pahala atau surge-neraka saja.
Pengadopsian budaya kita sering kali melupakan aspek
kekritisan. Kita hanya menjadi orang yang terampil meniru tanpa ada kehendak
untuk menjadi bagian yang mencerahkan. Bangsa ini butuh generasi yang bisa
melahirkan gagasan yang cemerlang guna mewujudkan bangsa yang bermartabat di
dunia. Kemandirian adalah kunci dalam mewujudkan cita-cita dan harapan dalam
mewujudkan bangsa yang berwibawah.
Saatnya kita melakukan perenungan atas apa yang ada pada dan
disekitar kita, bahkan soal keberagamaan kita. Jangan sampai kita menjadi orang
yang merasa paling benar sehingga menutup dialog atas kebenaran yang lain.
Ketak beresan sosial juga merupakan akibat dari kesalahan kita dalam memaknai
agama dan beragama.
Menutup cerita singkat ini saya mengajak pada diri sendiri
untuk senantiasa merenungi konstelasi sosial meliputi aspek ; keagamaan, budaya
dan warisan kultur nenek moyang. Dan selalu membuka diri atas pandangan-pandang
kekinian dengan tidak melupakan akar budaya luhur masa lalu, seperti etos juang
dan kecintaan pada tanah air yang kita cintai.
1 komentar:
salam budaya... salam indonesia...!!!
Posting Komentar