Sebelum pemerintah menetapakan
jatuhnya awal puasa, Muhammadiyah sudah menetapkan puasa lebih awal dari
pemerintah. Tentu saja penetapan awal puasa oleh Muhammadiyah yang
dilansir di media membuat sebagain ummat bigung. Kemudian muncul satu dikotomi
lawas, “NU dan Muhammadiyah mana pernah sama dalam menetapkan awal puasa”. Terlepas
dariperbedaan dan persaingan pengaruh ditingkatan elit organisasi, kita semua
dan ummat berharap nantinya Muhammadiyah, NU dan Pemerintah bisa duduk bersama,
kemudian menyamakan metode dan presepsi terkait awal puasa. Semua ini demi
ummat. bukan organisasi.
Untunglah masyarakat muslim di
Indonesia sudah ada kemajuan, hal itu ditunjukkan masyarakat dengan
keterbukaan mereka, mereka menerima perbedaan dalam penetapan awal puasa
sebagai sebuah hal yang lumrah. Namun bila kita melihat pada ketegangan di
puncak instusi dan organisasi di sana terjadi perang opini dan saling serang
menyerang. Tentu saja cara dan sikap yang ditontonkan para tokoh itu keluar
dari semangat yang saling mencerahkan. Tentu kita mempertanyakan sikap mereka
itu, bukankankah harusnya tokoh-tokoh itu memberi teladan yang baik.
Baiklah. Bagaimanpun kita tidak
boleh larut oleh perang opini. Sekarang kita sama-sama melaksanakan puasa. Dan
ini perlu kita syukuri bersama.
Alhamdulillah, dii bulan
dilipatgandakannya setiap amal ini kita diberi kekuatan, kemudahan dalam
menjalankan dan melaksanakan ibadah puasa dan ibadah lainnya. Kita patut
bersykur kepada Allah karena kita dipertemukan kembali dengan bulan yang
dimuliakan, bulan untuk berladang amal. Bila bulan ramadhan sebelumnya,keluarga,
teman, tetangga lengkap mungkin di tahun ini berbeda, mungkin sebagian diantara
mereka telah dipanggil Allah.
Hal yang sama dari bulan ramadhan
tahun kemarin dan sekarang adalah semangat dalam melaksanakan ibadah, khususnya
saat masuk awal puasa. Bila sebelum puasa kita berat melangkat ke masjid,
dengan datangnya puasa Masjid dan Surau hampir tidak muat menampung jema’ah.
Sungguh semangat ramadhan diawal sangat luarbiasa. Semua tumpah ruah ke masjid.
Laki-laki perempuan, orang tua dan
anak-anak semua pada datang ke masjid. Wajah-wajah kecerian terpancar dari
senyum dan pakaian yang dikenakan oleh mereka. Bulan ramadhan memberi sepirit
ibadah yang baru, semangat berjema’ah yang jarang terjadi di bulan-bulan yang
lain, bulan puasa seperti menciptakan tradisi dan dunia baru.
Bulan yang penuh barokah ini
benar-benar mampu mengkondisi kita untuk kembali kepada hakekat diciptakannya
manusia, yaitu sebagai hamba. Menyembah kepada Allah. Masjid dan Surau padat
dengan kegiatan keagamaan dan ceramah rohani. Semua ummat islam tengah antusias
untuk melaksanakan ibadah dan kebaikan lainnya. Berkah ramadhan memampukan kita
dalam menjalankan sholat isyak dan taraweh dengan berjemaah.
Makasyukur di sini harus benar-benar
menjadi pilar kekuatan. Sebagai instrument keberimanan yang total dan
subtansial. Harusnya rutinitas dan keberimanan ini kitajaga dan senantiasa
ditumbuhkan. Kesadaran dalam keberimanan harus dibumikan melalui sikap dan
tindakan. Sebagaimana Allah mengingatkan kita melalui sabda-Nya,
"Haiorang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkanatas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa," (QS. Al-Baqoroh 183).
Imanlah yang memanggil dan mendorong
kita melaksanakan ibadah dan berpuasa. Dan imanlah yang membuka rasa
tanggungjawab untuk mengakui dan melaksanakan kewajiban puasa. Dan tujuan dari
keberiman dan melaksanakan kewajiban puasa adalah supaya kita bertaqwa,
sebagaimana Allah inginkan dari hamba-hamnya yang beriman.
Selain kita menyaksikan antusiasme
ummat muslim dalam melaksankan ibadah puasa dan solat, kita juga melihat
sebagian ummat yang terpaksa menanggalkan puasa dan tak bisa solat isyak dan
tarawih lantaran desakan ekonomi. Jangan kemudian kita mengatakan orang yang
tidak berpuasa itu sebagai orang lemah dan tak taat agama. Mereka belum
menyempurnakan agama lantaran satu hal iya.
Tidak elok membasah mereka (yang
belum berpuasa) yang karena satu hal, sebab kita sendiri tidak bisa mengukur
dan berasumsi dari apa yang kita lihat, sebab apayang kita lihat bisa saja itu
berupa sebentuk ujian pada kita yang sedang melaksanakan puasa. Dan di sinilah
harusnya puasa bisa mengontrol kita dari hal-hal yang sekiranya hanya
mengurangi kekhusyukan dalam menjalankan puasa.
Kita fokus saja sebagaimana tema di
atas, menjaga semangati awal puasa. Di awal puasa semangat dalam menjalakann
ibadah dapat dilihat dari jumlah ummat muslim yang datang ke Masjid atau Surau.
Namun sayangnya itu hanya terjadi saat awal puasa. Mengapa semangat beribadah
di awal puasa ini tidak bisa kita jaga dan pertahankan. Apakah ini ada
kaitannya dengan mutu dan keberimanan kita. Atau adakah alasan lain sehingga
Allah membernarkan alasan kita.
Mengaca pada pengalaman sebelumnya,
stelah 10 hari puasa ke atas bisanya jema’ah dan semangat beribadah mulai
menyusut. Sedangkan prilaku dan konsumisi semakin meningkat. Kebiasaan
menjelang akhir puasanya bisanya disibukkan dengan gaya hidup, pakaian,
menyiapkan sajian dan makan menjelang lebaran dll.
Subtansi puasa yang bertujuan untuk
menciptakan manusia yang beriman-taqwa kalah dengan pola budaya komsumtif. Kita
dipersibuk oleh dorongan konsumtif dan gaya hidup. Sedang sepirit dan
nilai-nilai puasa yang menganjurkan agar kita bisa menahan, kita hanya bisamenahan
diri lapar. Sedangan menahan diri dari konsumtif dan gaya hidup masih belum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar