"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 25 November 2011

PERJALANAN PART III (selesai) KULIAH SINGKAT


10-15 m, Setelah menyembrang sungai kami baru sampai di rumah bapak syafi’i. Sebelumnya kami sempat salah jalan, dan akhirnya fahruddin yang pernah sampai ingat kalau salah jalan. Rumah Syafi’I terlihat sepi. Sebuah sepeda motor nampak terparkir di depan garasi “parkir” Mobil.

Kami coba mengintip dari balik pintu di luar, apakah di dalam ada orang. Benar, dari balik pintu yang terhalang tirai berwarna ping, kami melihat sesosok laki-laki berbadan kekar tengah duduk bermain dengan seorang anak laki-laki. Mungkin itu yang disebut pak Syafi’I, lagi bermain dengan anaknya, dan seperti memang ia, karena Sabtu sebelumnya saya melihat sosok ini.

Kami ketok pintu, dan memangil-mangil salam. Laki-kali di dalam rumah yang sedang bermain dengan anaknya berdiri menuju pintu. Dari luar pintu kami melihat sesok wanita dengan memaki baju panjang melintas menuju salah satu ruangan.

“Assalamualaikum…”

“walaikumsalam….”
“Ayo masuk”! Tanyanya pada kami.
“tapi tempatnya begiya… soalnya ini sekil baru aja mengaacak-acak isi rumah jadi begi” tegasnya lagi.
“Oya ngak apa-apa, kita cuma silaturrahim sambil mau lihat kindisi bapak, ‘katanya kemarin masuk rumah sakit-oprasi’” tegas fahruddin.

Kemudian kami membantu menggelar karpet yang terbuat dari bahan benag berwana agak colak dengan motif abu-abu. Kemudian lelaki ini menayakan nama saya. Dan kami berkenalan.
“Ini yang ikut kemarin ke jombang”. Tanya bapak syafi’I pada teman saya.

“tidak pak, kemarin Cuma bertemu di KFC, tapi tidak ikut” ungkap saya.

Fahruddin mengambil sebuah bingkisan yang awal-nya diletakkan di sebuah sofa samping pintu. “Ini ada titipan dari istri, kalau dibilang buat yang sakit takutnya yang sakit ngak mau, jadi buat yang mau aja” tegasnya sambil menyerahkan pada bapak Syafi’i.

“kok repot-repot segala”

Perbincangan terus berlangsung. Bahkan setelah beberapa lama berbincang-bincang, pak syafi’I menegaskan bahwa dia memang tidak memberi tahu sia-siapa soal penyakit “saat oprasi”. “sitri saya saja tidak tahu kalau saya oprasi” bagi bapak syafi’I kalau kabar yang kurang baik tidak perlu dibarkan pada orang banyak. “kalau kabar sakit itu, bukan kabar baik” ungkapnya sabil tertawa kecil.

Kenapa saya tidak mau memberi tahukan soal sakit saya. Saya masih teroma dengan kejadian beberapa tahun yang lalu dimana waktu itu saya pernah masuk rumah sakit istri panik, dia telpon bapak dan ibu, semua jadi panik. Pada hal yang sakit Cuma saya, dan penyakitmya bisa dikatakan biasa.

Iya saya sengaja bulang sama orang yang mengantarkan saya untuk tidak bilang apa-apa tentang saya. “awas ya, jangan kamu bilang siapa-siapa kalau saya masuk rumah sakit, ini Cuma sakit biasa”. Dia menceritakan percapakannya dengan teman yang mengawalnya saat itu.

Walau masih dalam keadaan yang tidak fit, bapak syafi’I termasuk orang yang kuat poa’ka. Seakan sakitnya tak mampu mengalahkan semangat hidupnya untuk berbagi pengalaman hidup. Dia menyinggung bahwa gejala sakitnya sudah terasa waktu sabtu kemarin sebelum soan ke jombang, saat itu dia tidak menyangka akan menyetir sendiri, tapi karena teman-temannya meminta dia yang bawa mobil, mau tidak mau dia harus menyetir sendiri. “yaudah … saya bismillah aja… ngak bakal ada apa-apa”.

Gejala awal yang dirasakan, dianggap sebagai hal yang biasa. Mungkin masuk angin karena menyetir. Dia pun meminum obat masuk angin. Bahkan dia juga minta pijet, namun rasa sakit di perut sebelah kanannya tetap tidak juga hinlang. Dia hanya heran, kok bisa.

Dalam hidup kita harus bisa menjadi orang ikhalas. Jadi orang tua dari anak-anak juga begitu. Kita harus konsekwen terhadap pilihan dan keputusan. Jangan sekali-kali mengeluh, atau menuntut hal yang berlebihan pada anak. Biarkan seorang anak berperoses sebagaimana keadaan saat ini. Tugas orang tua memberikan penguatan mental dan spritual keagamaan.

Kita mesti membuka ruang dialog dengan anak. Jangan sampai kita menopoli dalam hal sikap, apa lagi sampai diktator pada anak. Jadikanlah anak sebagai patner, teman. Saya selalu memberikan ruang khusus buat anak, artinya apa pun permintaan anak selalu saya turuti asalkan dia mampu memberikan alasan logis terhadapa apa yang dia minta. Dan saya bersikap sebaliknya….. jika anak tidak bisa memberikan alasan logis, maka anak harus mau mengikuti anjuran orang tua.

Contoh “anak saya pingin sekolah A… dengan alasan banyak temanya yang masuk pada sekolah itu. Itu alasanmu, kira-kira kamu akan bersama mereka untuk beberapa lama. Dia tidak bisa memberikan satu alasan logis, saya bilang “kamu lebih baik masuk sekolah ini.. dengan pertimbangan begini…., kamu tidak usa khawatir masalh kebutuhan kamu ayah yang nanggung yang penting kamu sekolah di situ, jangan kamu takut tidak lulus, masuk kelas apa.. ayah tidak mau tahu… kamu dak pulang dak naik kelas … dan di situ terus ngak maslah yang penting kamu sekolah.
Anak anak saya yang kedua, dia masu sekolah B… alasannya kuat ya saya turuti….

Namun menurutnya kita harus konsekwen dalam artian ketika anak ikut opsi orang tua, orang tua pun harus bisa memenuhi segala apa yang diminta “dalam hal kebutuhan”. Pernah dia akan mengikuti kegiatan di sekolahnya, dan dia butus sepatu dengan spisifikasi tertentu dan harus sampai keesokan harinya, saya sebagai oran tua harus sabar dan memenuhi apa yang dipintanya.

Cata-tan. “Apa yang disampaikan pada saat sungguh sangat menyentuh, semua yang dijabarkan terpotret dalam kehidupan saya. Namun sisi-nya yang berbeda. Dalam hal ini saya sangat setuju… bahwa pendidikan sangatlah berpengaruh dalam membangun rumah tangga, lebih-lebih saat kita dianugrahi sebuah ti-tipan “anak”.

Tidak ada komentar: