"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 24 November 2011

PERJALANAN PART II

Selesai berbincang-bincang, kami segera persiapan berangkat. Namun kami tidak bisa langsung berangkat meningalkan rumah fahruddin, karena anaknya yang masih berusia sekitar tiga tahun ingin ikut. “ayah mau kemana.., aku ikut? Anak kecil dan polos itu, duduk di atas sepeda motor dan tidak mau turun.


Semenatara anak-anak seusianya nampak asyik bermain perang-perangan, sementara yang lain bermain peta umpet. Dunia anak memang suatu hal yang menarik, mereka seperti tak berbeban apa pun. Segalanya mengalir bak air. Namun anak Fahruddin ini, tidak mau bergabung dengan teman-temannya yang lain, dia hanya berputar-putar di ampran rumahnya dengan sepeda kecilnya. Tahu ayahnya akan bepergian dia buang sepeda yang dari tadi dinaiki kemudian pindah naik ke sepeda motor yang baru saja di keluarkan oleh ayahnya.

Ayahnya mencoba membujuk putaranya agar tidak ikut dan di rumah saja, “kamu di rumah saja,  ayah mau jenguk teman ayah yang sakit” ungkap fahruddin pada anaknya, namun anaknya tetap tidak mau dan memaksa untuk bisa ikut. Memang anak seusianya lebih suka ikut bepergian orang tua. Namun kondisinya yang tidak memungkinkan.

Wajar bila ayahnya tidak membolehkan ikut. Pertama memang kondisi cuaca dan jalanan yang malam saat ikut sangat tidak cocok “mendung seperti akan turun hujan” dengan anak seusianya. Dan bila keluar berkendaraan malam-malam bisa masuk angin. Bila saya berada pada posisi Fahruddin saya juga akan mengambil sikap yang sama.

Dia mencoba menurunkan anaknya dari atas sepeda. Namun upaya untuk menurunkan tidak berhasil “dak mau, pkoknya ikut!!” tangan anak itu berpegang erat pada setir kendaraan yang di naikinya. “itu mama dak ikut, adik sama mama di rumah” mamanya masih terlihat memakai roko (menutup aurat untuk solat) mungkin baru selesai solat isyak. Dari balik daun pintu ia perhatikan anaknya yang terus menolak diturunkan dari kendaraan.

“nanti kalau adik tidur di jalan gimana, ayah ngak bisa nyetir motor” ayahnya mencoba mengajak si anak berdiskusi “membujuk” untuk tidak ikut. Kami pun membantu membujuk, “nanti aja ikutnya, ini malam tidak enak, mending adik sama mama di rumah tidur” ungakap kami secara serentak.

“Dak mau” anak yang masih belum begitu fasih berbicara itu tetap menolak untuk ditunkan dari kendaraan, dia tetap pada kehendaknya untuk ikut ayahnya,. Faruddin kemudian masuk ke dalam rumah, sesaat ke luar dia terlihat membawa bingkisan, “itu apa yaa…. ?” tanya anak kecil itu dengan spontan. “bingkisan untuk oleh-oleh, mau di kasi sama teman ayah yang sakit”.

“orang lagi sakit, kok dibawakan makanan “oleh-oleh”” (ungkap saya dalam hati) ungkapan semacam itu pernah saya dengar dari sebagian teman diskusi. Entah apakah ungkapan itu sebatas bergurau saja, atau sebagai satu pengngejawantahan terhadap kultur masyarakt yang mengakar sejak dulu. Namun sebagaimana saya pahami. Oleh-oleh “bingkisan” untuk orang yang sakit memang tak di mana-mana. Di kampung tradisi semacam itu juga berlaku bahkan lebih dominan lagi.

Saya sendiri agak heran ternyata di Kota juga ada budaya oleh-oleh “bingkisan untuk orang sakit”. “Oleh-oleh untuk orang sakit”, kalau dilogikakan memang tidak masuk akal, karena sebagaimana umumnya orang sakit ngak begitu bernafsu makan ‘jarangan mau makan-makan apa pun’. Kalau istilah orang kampung, oleh-oleh disebut sebagai alat sapat “e-panya-pa’a”


Fahruddin kemudian dengan cepat menurunkan anaknya yang mulai lupa memengang setir, anaknya sedikit berontak menolak diturunkan, namun akhirnya berhasil dan mau masuk sendiri ke dalam rumah. “oke kamu di rumah aja, sama mama. Kami berangkat dulu, Assalamualaikum…..”

Kami pun berangkat, jalanan yang tadi kami lewati masih ramai dengan anak-anak yang bermain. Seperti awal ketika kami memasuki jalan “Gang”, anak-anak yang masih lucu-lucu itu mencoba menghalang-halangi jalan, namun itu Cuma permainan, anak itu pun kepingir sambil memainkan beberapa jurus yang paling mereka sukai.

Jalanan yang semi kota ini, tak kalah dengan di kota. Laju pengendara sepeda motor memadati jalan, kami yang hendak menyembrang harus mengantri untuk beberapa saat 5-10 m. Rumah fahruddin berdekatan dengan sungai. Sementara ramau bapak Syafi’I yang hendak kami kunjungi masih di sebrang sungai. Jadi untuk sampai pada rumah bapak syafi’I dengan jarak yang cepat kita mesti melintasi sungai dengan menggunakan jasa kapal atau sampan air.

Ada yang menarik dari penyebrangan di sungai, di mana perahu yang kami tumpangi itu tidak mnggunakan mesin atau gayung seperti perahu pada umumnya. Perahu ini di kemudikan dengan cara ditarik menggunakan sabuk tali. Sabuk tali itu sudah terpasang kuat diantara masing-masing seberang. Ada pun jarak tempunya sekitar < 5 m. Sedangkan ongkos hanya ditarik Rp. 1000,.

Penyedia jasa penyembrangan sungai ini tidak hanya satu, arti masyarakat bisa memilih dan memanfaatkan semua jasa yang telah disedikan. Konon jasa penyembarangan ini dikelola oleh badan pertambangan, bukan perhubungan. Jasa perahuni ini boleh dikatakan tidak berhenti atau parkir lama-lama sebagaimana kapal besar yang menunggu penumpang. Berapa pun penumpang atau kendaraan motor yang sudah menanti langsung disebrangkan, tanpa harus antri sebagaimana angkutan umum lainnya.

Dari apa yang saya lihat saya bisa membaca bahwa, kehidupan selalu memberi kita ruang yang luas untuk bisa mengakses segala hal “rejeki”. Namun kita kerap kali tak mampu menagkap sinyal dan peluang. Yang terkedepankan dalam benak kita selalu berujung pada moda “materi”.

Pada hal Tuhan telah menganugrahkan kita dengan satu kecukupan, kitanya saja yang sering lupa dan jarang mensykuri nikmat yang telah diberikan. Pada hal jika saja kita bersyukur nikmat itu akan semakin mengalir deras, “bukankah yang demikian merupakan

Tidak ada komentar: