"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Sabtu, 19 November 2011

CATATAN PERJALANAN 1

“Sabtu 19 November 2011, saya berkesempatan silaturrahim pada Bapak Syafi’I, salah seorang demisioner PII di Jawatimur. Pertemuan ini menjadi satu hal istimewa bagi kami “saya khususnya””.


Surabaya, kota besar kedua setelah Jakarta ini hampir penuh dengam orang berkendaraan “motor”. Penjalan kaki nyaris tak tertemukan. Infarstruktur “jalan” yang representativ menjadikan pengguna asyik dan nayaman. Hal ini yang saya rasakan setelah beberapa hari di Surabaya, karena hampir setiap akan ke mana-mana selalu memakai kendaran.

Sabtu pagi teman saya menelpon temannya dia menayakan kabar bapak syafi’I yang sebelumnya dikabarkan masuk rumah sakit, konon karena gejala usus buntu. Teman saya yang seminggu sebelumnya bersama dia hamper tidak percaya mendengar kabar kalau Pak syafi’I kena penyakit usus buntu-harus oprasi.
“nasip manusia memang tak bias dutebak” keluh teman saya,
Memang ada apa? Tanya saya.

Kemudia teman saya bercerita “itu lo pak Syafi’I yang kita ketemu di salah satu restoran kemarin, sekarang masuk rumah sakit dan harus oprasi karena kena usus buntu”.

Ya pada tanggal 16/11/2011, saya sempat berkenal dengan orang yang dimaksud oleh teman di atas. Pada saat itu mereka akan melakukan studi banding mengenai usaha ke salah satu pesantren (Sidogiri, Jombang) di Jawatimur. Pada saat yang sama langkah studi banding ini sekaligus sebuah upaya merangkul usaha yang kini tumbuh berkembang di pesantren. Kerena mereka adalah para pengurus ICMI yang baru yang juga memiliki satu program “membentuk 1000 SAUDAGAR MUSLIM”, hal itu adalah bagain dari program kerja ICMI Jawatimur.

Usus buntu, saya tak begitu paham dengan nama penyakit tersebut. Bagaimana gejalanya, dan dampak pada si penderita saya tak tahu. Saya hanya pernah mendengar nama penyakit “usus buntu” itu dari media. Dan semoga tidak akan pernah mengalami.

“Hidup ini sudah ada yang mengatur, kita hanya bias berusaha semaksimal mungkin, bagaimana hasil nantinya itu urusa yang di atas. Dan penyakit itu disesuaikan dengan keberadaan dan kemampuan seseorang. Coba lihat orang kampung jarang terdengar istilah penyakit-penyakit yang aneh-aneh. Makanya jarang orang kampung yang sakit kemudian di bawa ke rumah sakit. Rumah sakit bukan solusi terbaik, rumah sakit bukan untuk membantu beban derita orang miskin, tapi justru menambah beban baru”. Ungakap saya agak lebar pada teman yang masih memandangi hanpon di tangannya.

“Yaallah, kita sungguh berdosa tidak pernah mau menyukuri nikmat yang tuhan berikan. Bukankah sehat itu adalah nikmat yang paling mulia. Kita kita hanya bersyukur bila mendapat gaji atau rejeki yang bersifat materi, itu pun masih sebatas lipstik “bibir” saja”.  Kembali teman saya bersuara dengan berat. Wajahya Nampak mengkerut.

Memang kita tak pernah tahu kemungkinan yang akan menimpa pada diri sendiri. Dan kita kerap lalai terhadap perintah Tuhan, sehingga Tuhan menegur kita dengan perantara sakit dll. Sehat adalah anugrah, namun anugrah sehat ini selalu terabaikan dan jarang disyukuri. Untuk mengetahui terang itu indah, kita harus tahu saat yang gelap itu bagaimana. Maka begitupun dengan keberadaan kita, Tuhan memberikan salah satu penyakitnya biar ummat sadar ternyata sehat itu adalah nikmat yang luarbiasa.

Sorehrinya sekitar Pukul 15 wib, teman saya menghubungi salah satu temannya. Dia menanyakan keberadaan Bapak Syafi’I, dari pembicaraan dapat saya tangkap, ternya yang sakit sudah pulang dari rumah sakit dan paginya sudah bias masuk kantor. “berarti sekarang beliaunya sudah ada di rumah” tegas teman saya pada temanya lewat hp-nya.
Awalnya kami hendak menjenguk ke rumah sakit. Namun ternyata orang yang kami jenguk sudah pulang dan sudah bisa masuk kantor. Namun kabar itu tidak mematahkan niat kami untuk tetap soan ke bapak syafi’i. kami bersepakat untuk silaturrahim “menjenguk” ke rumahnya.

Sauna di kantor masih terlihat sibuk, dan kelihatannya akan lembur lagi, seperti pada malam-malam sebelumnya. Maklum mereka sedang menggarap sebuah proyek pristisiu yaitu sebuah ruko “GRAND AHMAD YANI PARK” yang akan di bangun di dekat taman Pelangi di Surabaya, salah satu akses yang strategis. Proyek ini di tangani di bawah PT. PILARMAS DIADASA, konon pembelanjaanya di atas lima miliar.

Selesai solat Isyak kami ke luar meningalkan kantor. Suasan Nampak cerah dengan sedikit mendung. Kami langsung meluncur kea rah barat menuju salah seorang teman yang tahu rumah Bapak Syafi’I, karena walau teman saya akrap dengan beliaunya belum pernah sampai ke rumahnya. Sekitar perjalan 15-20 menit kami sampai di rumah teman yang tahu rumah pak Syafi’i.

Kami memasuki sebuah genga kecil. Konon ngang ini disebut NG (Nyebrang Sungai). Ngang menuju rumah Fuad ini ramai dengan anak-anak kecil. Sekitar 5 m dari ngang masuk ada sebuah tulisan “pelan-pelan karena banyak anak kecil yang berbain”. Ya.. saat ini saya melihat anak-anak tengah bermain sepak bola. Kendaraan kami perlambat. Ada sikitar delapan anak asyik berpain bola, sebagian yang lain Nampak bermain peta umpat. Sebagian menghadang kami sambil bergaya seperti pendekar. Kami sapa anak-anak itu dengan penuh hangat, kemudian mereka minggir kesamping. Sebantar kami pun sampai di rumah Fuad. Ternyata rumah pak syafi’I sudah dekat “nyembarng sungai ini langsung rumah pak syafi’I” ungkap teman yang baru saya jumpai ini. 

Tidak ada komentar: