Ada cerita menarik, kemarin 4/06/2012 saya melanggaran lalulintas di
Surabaya di jalan…., saat itu saya hendak menceput seseorang. Ternayata ada
polisi, polisi itu masih baru sampai di tempat itu, dan akhirnya saya dicegat.
Seorang petugas “polisi” yang baru keluar dari mobilnya langsung
menghadang saya. Dia mengangkat kedua tangannya untuk menghalangi laju motor
saya, polisi itu berwajah gelab dengan tubuh agak kekar dengan memakai kaca
mata hitam. Jalanan saat itu tidak terlalu ramai. Hanya ada dua pendendara
motor yang berjalan seiringan dengan saya. Tapi kedua tidak melanggar
lalulintas. Orang-orang yang ada di pinggir jalan dan toko memperhatikan saya.
Penjual minuman yang biasa berjualan tepat ada di samping saya dengan jarak
sekitar 3 m.
Semua pandangan mata tertuju pada saya. Sayapun tak kalah akal. Saat akan menghadang saya Polisi ini baru saja keluar dari dalam mobil berart Polisi ini membawa mobil bukan motor yang bisa mengejar ke jalan sempit. Jadi saya pun abmil inisiatif dengan tidak menggubris dan mengganggab polisi itu tak ada. Walau polisi itu menghadang saya tetap menorobos. Sebuah pukulan mendarat di kepala saya. Untung saat itu saya pakai helem jadi kalaupun memukul saya yakin yang sakit ya tangan polisi. Memang saya tidak merasakan sakit apa-apa.
Dengan sedikit berdebar saya terus memacu kendaraan. Keputusan menorobos barisan polisi yang menghadang saya karena saat itu tidak ada polisi yang membawa kendaraan bermotor dan tidak mungkin mengejar saja. Sayapun memacu kendaran dengan sedikit cepat. Walau asumsi saya polisi tidak mungkin mengejar , saya tetap saja dekdekan. Jalanan yang sempit membuat saya semakin tegang, takut-takut polisi itu akan mengejar saja.
Setelah saya berhasil melewati beberapa kedaraan, saya sedikit lega. Sesekali saya menoleh kebelakang , dengan satu harapan polisi itu tidak mengejar saya. Dan benar memang tidak ada polisi yang mengejar. Kejadian itu sangat menggelitik saya. Secara prosedur saya memang salah. Karena melewati jalan pintas. Tapi saya enggan berurusan dengan Polisi, berurusan dengan mereka pasti ribet, jlimatdan sok. Saya sangat tidak suka hal yang demikian.
Sedang dengan kelengkapan dan surat jalan lain saya tidak ada masalah. Tapi tetap saja saat itu dengan melewati jalan pintas saya salah. Beruntung tak harus mengeluarkan duit, hanya mengeluarkan sedikit panik. Berbeda dengan beberapa bulan yang lalu.
Pernah beberapa bulan yang lalu saya kena jegat polisi lantaran salah jalan juga. Walau lengkap tetap saja saya kena tilang. Saya yang agak keras membikin polisi agak marah “kamu ini, sudah salah masih mau melawan” tugas polisi dengan nada tingggi saat itu.
Sayapun sedikit menurunkankan tensi, pikir saya kalau saya bersitegang dengan polisi pasti bukan penyelesaian yang saya dapat. Sedang saya harus melakukan pekerjaaan lain. Saat itu saya masih belum tahu bentuk dan jenis surat tilang. Saya hanya melihat polisi mengisi sebuah fom. Kemudia polisi itu meminta SIM dan STNK saya. Saat itulah terjadi sebuah negosiasi.
“Ini bagaimana mau siding atau bagaimana” , Tanya polsi itu sambil melemparkan pandangannya ke arah pengendara yang lain. Di luar terlihat ada beberapa pengendara yang terkena tilang. Ada pengendara bermotor ada juga pengendara mobil. “gimana pak, masak saya harus ikut siding, bapak ngak baca ta saya dari mana” tegas saya agak kesel sama polisi. Polisi itu hanya memintal-mintal kertar formolir yang dipegangnya. Kertas itu bak senjata yang setiap saat dapat membuat saya mati kutu.
“Pokoknya saya ngak ingin sidang, saya ingin ini diselesaikan secara cepat saya ini masih ada banyak pekerjaan” ungkap saya pada polisi saat itu. “Iya itu gimana” polisi itu menanyakan balik pada saya. Saya semangkin jengkel dan ingin menendang polisi itu. “aduh bapak polisi ini bikin ribet saja, kenapa kalau minta aja” tukas saya dalam hati.
Beberapa orang yang terkena tilang memperhatikan saya yang sedari awal bersitegang dengan polisi. Kemudian polisi ini menyerahkan SIM, tapi STNK masih dipegangnya. “ hei kalau kamu tidak mau siding harus diwakilkan, kamu harus bayar Rp. 300.000,00”. Bisik polisi itu agak pelan kepada saya. Edan polisi ini, memang gampang uang Rp. 300.000,00 “ seru saya dalam hati. “Okeh pak gini saja” saya letekkan SIM saja di atas meja. Polisi kembali melihat SIM saya. Sayapun meraba dompek disaku celana. Dokpet yang biasanya gampang diambil dari saku, saat itu sulit seklait. Mungkin tidak rela isinya pindah ke tangan polisi.
Setelah bersusah payah akhirnya saya berhasil mengambil dompet di saku celena. Saya lihat-lihat mungki ada uang puluhan ribu, apes bagi saya dan untung bagi si polisi saat itu uang di domept saya adanya hanya lima puluhan dan seratusan ribu. Saya ambil satu lembar dan letakkan di atas meja. Polisi itu tidak langsung mengambil uang yang saya letekkan. Dia hanya melirik, bagai tikus yang sesekali siap memakan padi para petani. Walau saya sendirian saat itu, saya pun tak kalah gesit saya mengambil HP dan memfoto si Polisi denga fram uang di depanya. Polisi itu tidak sadar kalau dia difoto.
Sebenarnya saya melakukan pelanggaran lagi, iya dengan memfoto polisi saya sudah melanggar aturan, tapi polisipun melanggar aturan, heheh. Min+min kan …. Miniature… terabadikan deh ahahahhaah.
Uang Rp. 50.000,00 pindah tangan. Polisi akhirnya memperbolehkan saya meninggalkan ruangan yang sangat saya benci seumur hidup, juga polisi yang tak becus seperti mereka. Tak semua aturan harus ditaati, ada saat di mana harus dilanggar ada saat di mana mesti ditaati dan dijalankan. Barangkali itu yang menjadi perinsip polisi menerima uang Rp. 50.000,00, juga saya saat menerobos polisi yang mengdang saya. Heheheh. Tapi ini tidak untuk diikuti, ini hanya sebagai sebauh rekam jejak jelek. ehheheheh
Semua pandangan mata tertuju pada saya. Sayapun tak kalah akal. Saat akan menghadang saya Polisi ini baru saja keluar dari dalam mobil berart Polisi ini membawa mobil bukan motor yang bisa mengejar ke jalan sempit. Jadi saya pun abmil inisiatif dengan tidak menggubris dan mengganggab polisi itu tak ada. Walau polisi itu menghadang saya tetap menorobos. Sebuah pukulan mendarat di kepala saya. Untung saat itu saya pakai helem jadi kalaupun memukul saya yakin yang sakit ya tangan polisi. Memang saya tidak merasakan sakit apa-apa.
Dengan sedikit berdebar saya terus memacu kendaraan. Keputusan menorobos barisan polisi yang menghadang saya karena saat itu tidak ada polisi yang membawa kendaraan bermotor dan tidak mungkin mengejar saja. Sayapun memacu kendaran dengan sedikit cepat. Walau asumsi saya polisi tidak mungkin mengejar , saya tetap saja dekdekan. Jalanan yang sempit membuat saya semakin tegang, takut-takut polisi itu akan mengejar saja.
Setelah saya berhasil melewati beberapa kedaraan, saya sedikit lega. Sesekali saya menoleh kebelakang , dengan satu harapan polisi itu tidak mengejar saya. Dan benar memang tidak ada polisi yang mengejar. Kejadian itu sangat menggelitik saya. Secara prosedur saya memang salah. Karena melewati jalan pintas. Tapi saya enggan berurusan dengan Polisi, berurusan dengan mereka pasti ribet, jlimatdan sok. Saya sangat tidak suka hal yang demikian.
Sedang dengan kelengkapan dan surat jalan lain saya tidak ada masalah. Tapi tetap saja saat itu dengan melewati jalan pintas saya salah. Beruntung tak harus mengeluarkan duit, hanya mengeluarkan sedikit panik. Berbeda dengan beberapa bulan yang lalu.
Pernah beberapa bulan yang lalu saya kena jegat polisi lantaran salah jalan juga. Walau lengkap tetap saja saya kena tilang. Saya yang agak keras membikin polisi agak marah “kamu ini, sudah salah masih mau melawan” tugas polisi dengan nada tingggi saat itu.
Sayapun sedikit menurunkankan tensi, pikir saya kalau saya bersitegang dengan polisi pasti bukan penyelesaian yang saya dapat. Sedang saya harus melakukan pekerjaaan lain. Saat itu saya masih belum tahu bentuk dan jenis surat tilang. Saya hanya melihat polisi mengisi sebuah fom. Kemudia polisi itu meminta SIM dan STNK saya. Saat itulah terjadi sebuah negosiasi.
“Ini bagaimana mau siding atau bagaimana” , Tanya polsi itu sambil melemparkan pandangannya ke arah pengendara yang lain. Di luar terlihat ada beberapa pengendara yang terkena tilang. Ada pengendara bermotor ada juga pengendara mobil. “gimana pak, masak saya harus ikut siding, bapak ngak baca ta saya dari mana” tegas saya agak kesel sama polisi. Polisi itu hanya memintal-mintal kertar formolir yang dipegangnya. Kertas itu bak senjata yang setiap saat dapat membuat saya mati kutu.
“Pokoknya saya ngak ingin sidang, saya ingin ini diselesaikan secara cepat saya ini masih ada banyak pekerjaan” ungkap saya pada polisi saat itu. “Iya itu gimana” polisi itu menanyakan balik pada saya. Saya semangkin jengkel dan ingin menendang polisi itu. “aduh bapak polisi ini bikin ribet saja, kenapa kalau minta aja” tukas saya dalam hati.
Beberapa orang yang terkena tilang memperhatikan saya yang sedari awal bersitegang dengan polisi. Kemudian polisi ini menyerahkan SIM, tapi STNK masih dipegangnya. “ hei kalau kamu tidak mau siding harus diwakilkan, kamu harus bayar Rp. 300.000,00”. Bisik polisi itu agak pelan kepada saya. Edan polisi ini, memang gampang uang Rp. 300.000,00 “ seru saya dalam hati. “Okeh pak gini saja” saya letekkan SIM saja di atas meja. Polisi kembali melihat SIM saya. Sayapun meraba dompek disaku celana. Dokpet yang biasanya gampang diambil dari saku, saat itu sulit seklait. Mungkin tidak rela isinya pindah ke tangan polisi.
Setelah bersusah payah akhirnya saya berhasil mengambil dompet di saku celena. Saya lihat-lihat mungki ada uang puluhan ribu, apes bagi saya dan untung bagi si polisi saat itu uang di domept saya adanya hanya lima puluhan dan seratusan ribu. Saya ambil satu lembar dan letakkan di atas meja. Polisi itu tidak langsung mengambil uang yang saya letekkan. Dia hanya melirik, bagai tikus yang sesekali siap memakan padi para petani. Walau saya sendirian saat itu, saya pun tak kalah gesit saya mengambil HP dan memfoto si Polisi denga fram uang di depanya. Polisi itu tidak sadar kalau dia difoto.
Sebenarnya saya melakukan pelanggaran lagi, iya dengan memfoto polisi saya sudah melanggar aturan, tapi polisipun melanggar aturan, heheh. Min+min kan …. Miniature… terabadikan deh ahahahhaah.
Uang Rp. 50.000,00 pindah tangan. Polisi akhirnya memperbolehkan saya meninggalkan ruangan yang sangat saya benci seumur hidup, juga polisi yang tak becus seperti mereka. Tak semua aturan harus ditaati, ada saat di mana harus dilanggar ada saat di mana mesti ditaati dan dijalankan. Barangkali itu yang menjadi perinsip polisi menerima uang Rp. 50.000,00, juga saya saat menerobos polisi yang mengdang saya. Heheheh. Tapi ini tidak untuk diikuti, ini hanya sebagai sebauh rekam jejak jelek. ehheheheh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar