"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 13 April 2012

MENUJU WORKSHOP SAUDAGAR MUSLIM ICMI (Refleksi perjalanan pagi)

Waktu menunjukkan pukul 05.25. Matahari di ufuk timur nampak menyembul dari balik awan yang mengumpal. Semilir agin pagi terasa menyentuh keharuan hidup dan keragamannya. Sebagaimana pagi-pagi yang lain, pagi ini senantiasa memberikan energi dan harapan. Dalam kepercayaan orang terdahulu pagi adalah mustika kehidupan. Jika orang lalai di waktu pagi, konon akan bernasip sial pada waktu siang dan begitu seterusnya.


Pagi ini tanggal 12 April 2012 ICMI mengadakan kegiatan (workshop saudagar muslim) di Hotel Mercure Surabaya. Teragendakannya workshop ini sebagai satu upaya menyatukan presepsi sekaligus penyamaan visi dan misi ICMI dalam program penumbuhan 10.000 Saudagar Muslim di Jawa Timur. Segala keperluan workshop sudah saya persiapkan satu minggu sebelum pelaksaan. Dan pagi ini adalah pengeksekusian acara.


Saat mempersiapkan keberangkatan menuju tempat acara saya kembali merenungkan hikmah pagi. Dan saya teringat pada ungkpan orang tua dulu “Jangan biasakan tidur setelah subuh, karena akan menjadikan hidup fakir (kalau tidak fakir dalam hal finansial, maka dia akan fakir dalam hal spiritual)” ungkapan semacam ini biasa saya dengar dari kedua orang juga guru di padepokan.


Awalnya saya tidak begitu percaya namun tidak juga membantah. Hal terbaik saat itu adalah menjadi mendengar dengan segala sikap yang menyertai saat itu. Namun bila direnungkan saat ini ungkapan itu seperti menegaskan kekuatan hidup.


Saat ini saya mulai menyerap ungkapan sederhana dari kedua orang tua dan guru di Padepokan, boleh dikatakan saya “mebenarkan dengan nalar”, ungkapan mereka mengandung satu pelajaran yang sangat filosof, intinya jangan bermalas-malasan dalam menyamut kehidupan (pagi).


Mungkin anda bertanya apa kaitannya workshop Saudagar Muslim ICMI Orwil Jawa Timur dengan ungkapan orang tua dan guru di kampung. Secara garis kerja dan program memang tidak ada kaitan, namun saya hanya ingin menegaskan pentingnya menumbuhkan semangat hidup utama tatkala pagi mulai menyapa kita.


Dan aka nada banyak kemungkinan dalam hidup ini sudah pasti, artinya hal  yang dianggap kurang relefan dengan subtansi  bisa saja menjadi sebuah oase yang berarti, itu bisa saja terjadi. Waktu menunjukkan pukul 05.45. saya pun bergegas menuju tempat acara. Jalanan Nampak ramai bahkan di titik tertentu mengalami kemandekan “macet”. Kalau mengacu pada jadual acara, acara baru dimuali sekitar puku 09.00, namun untuk mengantisipasi hal-hal diluar dugaan saya berinisiatif datang lebih awal, cara ini akan lebih baik.


Betul saja, kemacetan dijalan hampir memakan waktu sekitar satu jaman, dan bisa Anda banyangkan bagaimana kondisi psikologis kita saat mengalami kemacetan sebagimana banyak terjadi kota-kota besar Surabaya dan kota-kota lainnya. Mangkel, jengkel bin kesel seakan menjadi satu paduan sikap saat itu. Begitupun saat saya menuju tempat workshop saudagar muslim ICMI ke Hotel Mercure.


Sekitar pukul 07.25, saya tiba diarea Hotel. Suansa hotel terlihat ramai beberapa petugas satpam bersiaga di pintu masuk. Banyak deratan mobil mewah di depan dan samping hotel. Pasti sang pemiliknya bukan orang biasa. Dan saya kira ini bukan mobil yang memakai BBM bersubsidi.


“rit.. rit.. rit.. rit.. rit..” pak satpam meniupkan peluit. Peluit itu seakan menafikan keadaan, bunyinya sanggup mengkondisikan setiap tuan yang dilayaninya. Dengan penuh kepercayaan diri tangan sampat memandu arah setiap mobil yang hendak parkir di area hotel. Dan tentu setiap pengendara harus taat terhadap intruksi satpam, karena satpam sendiri memiliki tugas dan kewenangan, intinya mereka adalah pelaksana disiplin yang bertugas mendisiplinkan.


Tak jarang sebagian orang menilai tugas satpam dengan sebelah mata, tapi tidakkah kita tahu dia adalah bagian yang terintegrasikan dalam kehidupan ini, adanya memperlengkap makna hidup. Dan benar kata para pendakwah “kiai” di panggung bahwa kita mestinya belajar keikhlasan pada orang bawah (satpam dan penjaga parkir).


Nyatanya hidup ini adalah sebuah pengakumulasian nilai-nilai. Tak ada nilai yang bisa berdiri sendiri, setiap nilai terdiri dari susunan nilai-nilai lainnya. Namun mengapa sebagian orang mengagungkan nilai tertentu kemudian merendahkan nilai yang lain, sebagaimana terjadi pada kontruksi social kita. Mengapa kita tak mencoba menghargai setiap dimensi dalam nilai-nilai itu sendiri.


Gelar dalam kehidupan adalah sebuah hal yang fata murgana, nisbi, dia bisa diraih dan bisa pula musnah. Presiden-penjual Koran adalah satu kontruksi social dengan keunikannya dan kita mesti mengahrgai nilai yang ada dua kutup itu. Pengemis belum tentu sehina yang kita asumsikan, begitun dengan kedudukan dan jabatan. Bukankah sudah banyak contoh pejabat kita yang terseret ke rutan.



Dan saya selalu menanamkan pada diri ini untuk belajar, dan lebih terbuka terhadap perbedaan ‘nilai’. Dan bagi saya bejalar adalah keharusan, maka sayapun berperinsip bahwa setiap pengalaman pasti memiliki nilai pelajaran.  Terbuka atas segala perbedaan dan nilai-nilai yang ada semakin memperkaya wawasan dan cara pandang.


Satpam yang bertegas di dekat pintu masuk Hotel senantiasa dengan senyuman. Setiap ada tamu yang akan masuk petugas akan cepat membukakan pintu, begipun saat akan ada pengunjung yang hendak keluar dari hotel. Maka ini lah secuil catatan perjalanan menuju acara Workhop Saudagar Muslim ICMI.

Tidak ada komentar: