"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 07 Juni 2011

Napak Tilas III (KETIPAN UANG PALSU)

Empat tahun yang lalu tepat 2007, Tuhan memperkenankan saya untuk menginjak kaki di tanah Malang. Tak ada satu taksiran dan rencana sebelumnya, kalau saya bakal di malang “kuliah”. Kuliah. Lantaran kuliah-lah kaki saya menendang-nendang batu kehidupan di Kota Bunga ini (Kota Malang). Sebelumnya saya tak pernah Tahu tentang Kota Malang. Bagi saya Kota Malang adalah Kota dingin namun suasana sejuk. Malang menjadi sangat dingin ketika akan memasuki musim kemarau, atau saat penghujan. Kota Malang di keli-lingi oleh Gunung yang tinggi, barangkali itu yang menjadikan Kota Malang dingin. Ada pun jarak tempuh dari Sumenep menuju Malang berkisar delapan (8) Jam.

Waktu pertama kali saya menginjakkan kaki di Kota ini, tidak sendirian. Saat itu saya bersama dengan teman satu Kelas dan teman saya bersama kakak-nya, jadi saat itu kita bertiga. Kebetulan kami satu fakultas (Fakultas Tarbiah) dan Prodi pun sama, Jurusan IPS (Prodi pendidikan Ekonomi). Teman satu kelas yang saya maksud adalah SAMA'. Sama' adalah anak Manding, tepat Desa Lanjuk. Kami masih satu Kabupaten (Sumenep) namun beda kecamatan. Saya Kecamatan Gapura sedang Sama' Kecamatan Manding.Untuk menuju Desa Lanjuk diperlukan waktu tempuh sekitar 15-20 m. Sedangkan jalan menuju Desa Lanjuk masih sempit dan masih banyak yang belum ter-aspal (ada penataan batu namun tak dilakukan penghalusan akhirnya jalan bergelombang).

Sebelum berangkat ke Malang saya sering berkunjung ke rumah Sama', saya pun sempat dijamu di rumah-nya. Saat itu kami masih wira-wirai sekolah, menunggu pengumuman pelulusan. Sebelumnya kami telah dinyatakan diterima di salah satu Perguruan Tinggi di malang melalui jalur PMDK, tepatnya di UIN Malang. Pada satu waktu saya diajak ke Bank oleh Sama', untuk melakukan registrasi ulang.. Sekitar pukul 09.00 wib Kami berangkat menuju Bank yang telah ditunjuk oleh UIN Malang. Saat akan melakukan transfer taeler memandang kami berdua dengan pandangan yang tajam.

“...Dik... Adik dapat uang dari mana” petugas taeler bertanya pada kami berdua.

“Kenapa ... bu... uang itu dikasih orang tua” jawab teman dengan polos.

“uang adik palsu, untuk itu uang ini kami tahan”

Mendengar hal itu kami terkejut. Raut muka Sama' terlihat pucat pasi. Saya pun tak kalah pusing. Ketakutan pun mucul. Karena sesuai Uu pengedar uang palsu dikenakan pidana. Yang terbayang saat itu, taeler akan melapor polisi dan kami berdua ditangkap.

“Saya ngak tahu bu.... kalau uang itu palsu” teman saya menegaskan diri, suaranya agak terbata-bata.

“Gimana bu... kal uang itu saya bawa pulang, saja” minta teman pada petugas taeler.

“Ngak boleh Dik... uang ini tetap harus ditahan” petugas itu seperti tak bergeming.

Saya pun amblil bagian dalam percakapan.

“Ibu ... saya minta tolong dengan sangat supaya Uang palsu itu bisa kami bawa pulang untuk dijadikan bukti pada orang teman saya ini. Kalau ngak begitu kami dikira tidak jujur atau menyelewengkan uang ini. Ungkap saya pada petugas itu.

Taeler itu, terlihat memutar kepala sambil membolak-balik uang kertas pecahan Rp. 100.000. kami berdua masih dihinggapi rasa takut. Apa lagi bila uang itu tetap ditahan di Bank. Permata takut kalau nanti kami dilaporkan ke polisi. Ketakutan kedua kami takut dianggab bersekongkol atu tidak jujur dikira uang dibelanjakan sesuatu, oleh orang tua Sama'.

“Bu kami benar-benar minta tolong, kalau uang itu ditahan kami takut dicurigai membelanjakan uang itu” saya kembali memohon pada petugas tealer.

Petugas Bank kembali membolak-balik lembar uang palsu itu. Kemudian dia turun dari kursi duduk-nya menuju ke salah satu bilik ruang di belakang. Rupanya petugas itu menemui karyawan yang lain. Mungkin pimpinannya atau paling tidak yang berhak memutuskan hal-hal teknis seperti kasus kami ini. Kami tak dapat berbuat apa-apa selain memohon-mohon. Namun kami juga tak ada daya jika petugas itu tetap kekeh untuk menahan uang palsu itu.

Setelah selang 5 m petugas itu pun kembali pada tempat duduk. Sesaat petugas itu memperhatkan kami berdua dengan secara seksama. Hati kami masih dibalut was-was dan rasa takut. Kami hanya menundukkan wajah. Sesaat kami saling berbisik. Dan tiba-tiba petugas teler menyapa kami yang sedang dipenuhi rasa takut.

“Dik ... uang-nya bisa dibawa pulang, tapi ada syaratnya” tegas petugas itu pada kami dengan nada halus.

“Syaratnya apa buu....?” tanya kami berdua secara spontan kami.

“Syarat-nya Uang ini akan kami kasi tanda, agar tidak dipakai lagi”

“Ya ibu... ngak apa-apa, asalkan saya ada bukti pada orang rumah” ungkap teman saya dengan muka kemerahan.

Hati kami sedikit lega, ketakutan-ketakutan itu pun hilang. Kami berhasil membujuk petugas itu. Masalah uang palsu tak ada toleransi harus diusut. Barangkali petugas itu tak tega dan iba pada keadaan kami. Sungguh saya juga Sama' tak mengira, kalau uang yang dibawa ternyata palsu.

Ternyata benar uang itu dikasi tanda stempel. Setelah kami terima uang palsu itu tercentang dengan beberapa bolongan. Kami tak menghiraukan soal stempel atau bolongan yang ada pada uang palsu tersebut. Yang terpenting Bagi kami saat itu bisa membawa pulang uang palsu itu sebagai saksi “bukti” kalau uang itu memang palsu.

“Kalian tahu uang ini didapat dari siapa” tanya petugas itu pada kami berdua.
“Kalu ngak salah uang itu dari pedagang Sapi” ungkap Sama' pada petugas Bank.
Pertanyaan itu tak berlangsung lama. Kami pun berpamitan
“Terimakasih bu.....” kami pun balik menuju sekolah.

Dalam perjalanan pulang saya ngobrol. Uang palsu itu diperoleh ketika menjual sapi, seperti diterangkan Sama' pada petugas di Bank. Dari obrolan itu saya ketahui bahwa Ayah Sama' menjual anak sapi pada salah satu pedangang di pasar Bangkal. Dari sekian uang yang terimanya ternyata banyak yang palsu. Dan uang yang akan dibayarkan untuk daftar ulang pun Uang dilakukan, untung masih ada tenggang waktu sekitar tiga hari lagi. Waktu di jalan menuju sekolah sama' meminta agar kasus yang terjadi di Bank tidak diketahui oleh teman-teman. Sekitar jam 11.15 kami tiba di sekolah.

Teman-teman yang menunggu pengumuman pelulusan terlihat duduk berderet di taman sekolah. Sebagian terlihat duduk di depan kelas masing-masing.

“Oy.... Calon mahasiswa dah nungolll reeeeek “ sapa teman pada kami berdua. Kami berdua berjalan santai. Kami hanya membalas sapaan teman-teman dengan senyum. Kejadian di Bank tadi sungguh membuat hati kami dek-dekan.

Tidak ada komentar: