Pernyataan di atas bukan pertanyaan
populis. Apa lagi ditengah derasnya gelombang unjuk rasa menolak kenaikan harga
BBM oleh mahasiswa dan oramas bahkan partai. Yang menolak kenaikan harga BBM beralasan
"….kenaikan BBM akan menyengsarakan hanyat hidup rakyat kecil, rakyat akan
semakin tercekik, karena kenaikan harga BBM akan diikuti oleh kenaikan
harga-hara bahan pokok yang lain". Pernyataan itu benar. Namun bila kita
telisik lebih jau dan dilihat dari aspek jangka panjang serta efektifitas BBM
itu sendiri muncul satu pertanyaan mendasar pula, apakah masyarakat kecil yang
memanfaatkan BBM, atau penolakan ini ada kepentingan bisnis uyang lebih besar.
Jika hara BBM tetap jelas negara yang akan menanggung bebaban dan lagi-lagi
orang pembisnis dan orang berduit yang diuntungkan.
Kita jangan terjebak pada isu
penolakan yang diselipi kepentingan bisnis besar. Harga BBM harus naik, dan
bantuan BLSM harus dipermaninkan. Alokasi subsis BBM harus dialihkan pada
sektor riil yang lebih menyentuh, perbaikan infrastruktur (jalan, transportasi
dll). Karena jika infrastruktur jalan baik ekonomi akan berjalan lancar dan itu
dampaknya langsung dirasakan oleh rakyat.
Kita pun tidak boleh terjebak oleh
pencitraan partai yang juga menolak kenaikan harga BBM, toh kenaikan harga BBM
ini bukan untuk kepentingan segelintir orang tapi untuk kemaslahatan bangsa
dalam jangka panjang. Dan saya justru mepertanyakan sikap partai politik yang
berkoalis dengan pemerintah kemudian bersembrangan dengan sikap pemerintah yang
tengah berusaha menyelamatkan negara ini dari kebangkrutan, akibat subdisi BBM
yang justru dinikmati oleh orang yang kaya. Dan kita juga mempertanyakan sikap
dan konsistensi partai politik (PKS) yang menolak kenaikan harga BBM, sikap dan
penolakan PKS ini hanya pencitraan di tengah gempuran kasus korupsi yang kini
terus bergulir di tangan KPK.
Benarkah PKS berpihak kepada rakyat
kecil atas sikap dan penolakannya terhadap kenaikan harga BBM, justru sikap
subjektif kita melihat bagaimana parti ini bersandiwara demi pencitraan dalam
menghadapi pemilu 2014 nanti. Seandainya PKS bukan bagian dari koalisi saya
pikir wajar laj bila mereka menolak rencana kenaikan harga BBM.
Mari kita bersikap wajar dalam
menyikapi harga BBM, di era reformasi dan demokrasi semua orang boleh bersikap
dan menyatakan sikap atas kenaikan harga BBM, termasuk dengan menolak,
berdemonstrasi dll. tapi kita pun harus objektif menilai dan melihat kondisi
bangsa saat ini khususnya kenaikan harga BBM. Jangan sampai aksi dan penolakan
itu justru merugikan negara dan rakyat. Khusunya para masiswa yang sering
melakukan demo yang berujung pada perusakan fasilitas Negara.
Mengapa kita tak duduk bersama
mencari opsi dan solusi supaya atas kenaikan harga BBM. Pada situasi seperti
ini penolakan kenaikan harga BBM itu hanya menambah kebisingan public dan mengganggu.
Sikap dan cara jalanan harus diubah kepada cara yang lebih konstruktif dan
kontributif yaitu kemaslahatan bangsa ke depan. Apakah tidak mungkin kita
beralih dari ketergantungan BBM yang nyata-nyata secara persedian terus menyusut,
perlu kita sadara bahwa kita bukan lagi peng-ekspor BBM. Jika bangsa lain
tengah merancang penghematan BBM masak kita sibuk meributkan keniakan harga
BBM.
Saya terkesan dengan pernyatan seorang teman PAPUA yang mengatakan, “Orang Jawa sibuk dan ribut soal kenaikan harga BBM dari Rp. 4.500,00 menjadi Rp. 6.500,00, kami di PAPUS sudah terbiasa membeli BBM 10.000,00-15.000,00 perliternya”. Pernyataan tersebut sangat sederhana dan sekaligus menggelitik kesadaran kita semua. Benarkah sikap penolakan atas kenaikan harga atas BBM sebagai aspirasi dan keperihatinan terhadap rakyat kecil. Atau sikap dan penolakan itu titipan dan kepentingan bisnis.
Ayo kita saling mengoreksi dan berpikir atas kepentingan bangsa jangka panjang. Kritik atas kebijakan itu memang perlu bahkan wajib. Tapi solusi merupakan satu hal yang lebih dibutuhkan guna kebaikan bangsa jangka panjang. Dan rencaca BLSM harus kita pantau guna tidak terjadi penyimpangan, dan BLSM kita dorong untuk dipermanenkan, atau kalau tidak pemerintah dan kita mendurong supaya BLSM itu dialihkan pada hal yang lebih produktif, supaya tidak terkesan suap dalam arti lain.
Saya terkesan dengan pernyatan seorang teman PAPUA yang mengatakan, “Orang Jawa sibuk dan ribut soal kenaikan harga BBM dari Rp. 4.500,00 menjadi Rp. 6.500,00, kami di PAPUS sudah terbiasa membeli BBM 10.000,00-15.000,00 perliternya”. Pernyataan tersebut sangat sederhana dan sekaligus menggelitik kesadaran kita semua. Benarkah sikap penolakan atas kenaikan harga atas BBM sebagai aspirasi dan keperihatinan terhadap rakyat kecil. Atau sikap dan penolakan itu titipan dan kepentingan bisnis.
Ayo kita saling mengoreksi dan berpikir atas kepentingan bangsa jangka panjang. Kritik atas kebijakan itu memang perlu bahkan wajib. Tapi solusi merupakan satu hal yang lebih dibutuhkan guna kebaikan bangsa jangka panjang. Dan rencaca BLSM harus kita pantau guna tidak terjadi penyimpangan, dan BLSM kita dorong untuk dipermanenkan, atau kalau tidak pemerintah dan kita mendurong supaya BLSM itu dialihkan pada hal yang lebih produktif, supaya tidak terkesan suap dalam arti lain.
#BBM1