"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 30 Mei 2013

MEMAKNAI ULANG KE-KHILAFAH-AN

Secara sosial dan bagian dari warga negara yang menganut sistem demokrasi (musyawarah) saya tidak bisa menolak keberadaan HTI, HTI juga punyak hak hidup berdampingan dengan yang lain. Soal keyakinan dan paham saya pikir ini bukan ranah yang harus didiskusikan, karena keyakinan itu urusan individu dengan Tuhan, bukan manusia dengan manusia.

Namun soal wacana dan cita-cita yang diusung HTI "khilafah", saya pikir ini semacam diskursus yang sepenuhnya bisa dipahami sebagai sebuah wacana bukan bagian dari unsur iman. Urusan keimanan dan keyakinan pada Tuhan adalah urusan hati bukan lifsing atau semacam orasi.

Perbedaan paham dan pandangan diantara masing-masing golongan hendaknya tidak sampai menjadikan perpecahan apa lagi sampai merusak infrastruktur dengan legalitas "agama 'Tuhan'", dengan cara menghilangkan nyawa. Kita berislam bukan lantaran kelompok organisasi, suku, budaya dan adat. Kita berislam dan beriman lantaran kita benar yakin bahwa Agama yang dibawa Muhammad s.a.w adalah agama yang paripurna. Tapi bukan berarti menutup dialog atas realitas.

Secara kebangsaan harusnya saya membenci dan meniadakan pada organisasi yang secara terbuka melakukan makar atas sistem yang dirumuskan secara mufakat. Tapi kemudian saya berpikir, tak ada gunanya juga berdebat dan mempersoalkan hal yang secara nyata telah memberikan wadah kehidupan yang harmoni. Semisal demokrasi yang oleh sebagian kelompok "HTI" dipandag sebagai sistem kufur, karena mereka memandang demokrasi bertentangan dengan nilai dan prinsip ketuhanan (Khilafah)

Dari beberapa ultimatum (HTI) yang bersifat menyerang atas sistem dan paham keideologian "Bangsa" saya melihat satu bentuk pembenaran dengan nalar yang dikonstruksikan dengan paham atau nilai-nilai keislaman universal oleh HTI. Dan dalam hal ini pula saya melihat suatu pemerkosaan makna dan paham atas teks dan konteks, dengan meniadakan diskursus sebagaimana menjadi satu ciri dan keutamaan sebagaimana diajarkan oleh Muhammad s.a.w.

Gencarnya fatwa dan dakwa kehilafahan sesungguhnya merupakan sebuah pergeseran nilai "perebutan kekuasaan dengan lebel agama", jika kita bertanya apakah dengan penerapan khilafah itu sebagai solusi atas persoalan kebangsaan, bagaimana dan seperti apa konsep kehilafahan itu dirumuskan. Jika kehilafahan sebagaimana kawan HTI penyatuan ummat di seluruh dunia pada satu bendera islam konsep pembagian kekuasaan dan tritori seperti apa..?

Petanyaan di atas sebenarnya merupakan sebuah pertanyaan umum. Jika kemudian jawabannya sesuai Al-quran dan Hadits.... krangka atau konsepnya seperti apa. Apa bila pengambilan hukum kehilafahan itu merupakan sebuah rekontruksi dari ayat yang telah ditafsirkan ulang, maka harusnya di sini ada sebuah penekanan dan satu pemaknaan ulang atas konsep dan kehilafahan itu sendiri.

Jangan sampai keberislaman kita hanya sebatas reduksi budaya tapi tak mampu menyentuh dan membumikan nilai-nilai rahmatan sebagaimana menjadi panji perjuangan Muhammad s.a.w.

Wallahua'lam
Baca Selengkapnya di sini..