"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 31 Maret 2011

KETIDAK BERDAYAAN

Sampai detik ini saya masih merasa apriori dengan diri sendiri. Krisis kepercayaan menjadi hantu yang selalu membayangi setiap saat. Setiap kali akan melakukan sesuatu selalu dihantui rasa was-was, ketakutan timbul secara tiba-tiba membuat saya syok. Saya bingung akan berbuat apa, dan harus bagaimana? dan harus melakukan apa ? semua seperti mengambang, kebingungan ini amat menyiksa, ya sangat menyiksa.

Mungkin anda pernah mengalami seperti yang saya alami di atas. Apa yang saya alami tersebut sungguh sangat tidak mengenakkan. Kepanikan dan hilangnya rasa percaya menjadikan diri seperti terombang-ambing tidak menentu. Disaat kondisi seperti itu diri hanya bisa berpasrah kepada Tuhan. Saya berharap diri ini bisa melampaui-nya. Namun langkah itu adalah satu sikap paling buruk menurutku karena saya tidak dapat bersesuatu yang bisa menghilangkan penyakit ini.

Bingung dalam keragu-raguan, “bingung-ragu” dua kata itu sungguh amat menyiksa diri. Sebenarnya bukan tidak ada satu gagasan atau langkah untuk keluar dari persoalan yang dihadapi, “dalam keadaan seperti ada petunjuk harus begi dan begitu” akan tetapi rasa ragu mendominasi ‘hilangnya rasa percaya diri menjadikan saya tenggelam dalam karaguan’ hingga saya pun hanya bisa mempertanya sikap “mengapa saya seperti ini-sampaikapan akan seperti ini???”.

Saya tidak mampu membawa kepentingan diri. Membicarakan persoalan pribadi pada orang lain terasa berat sekali. Padahal sebelumnya angan-angan “saya akan seperti ini, saya harus ngomong ini dan itu” perasaan itu hadir dalam gulatan hati dan perasaan. Namun pada saat saya dihadapkan pada orang yang akan saya ajak bicara atau orang yang dipandang mampu memecahkan permasalahan, semua angan dan rancana yang tersusun tiba-tiba hilang dan seperti tertelan di tenggorokan. Penyakitku ini seperti cinta monyet, ya pada saat itu perasaan begitu mengebu-gebu namun setelah di hadapannya lidah ksaya untuk mengungkapkannya.

Masalah yang seperti itu bukan hanya sekali ini saja, sudah berulang kali saya alami, namun saya belum juga mampu menyikapi seca elegan dan berbesar jiwa.

Setiap persoalan pasti ada penyelesaian.
Doktrin itu saya pengang sampai saat ini. Nemun seolah-olah saya ini lamban, dan terkesan gak punya satu kepastian sikap. Sungguh saya ingin keluar dari perasaan semacam ini. Saya benci pada diri yang tidak dapat melangkah pasti. Tapi saya masih dalam kebingunganku. “Tuhan sungguh engkau maha tahu, Engkau maha pemberi jalan yang baik, maka bimbinglah hambamu ini untuk dapat keluar dari persoalan ini”.

Persoalan yang saya hadapi bukan berarti tidak bisa diselesaikan, penyelesaian itu sudah terlintas akan tetapi keberanian untuk menindaklanjuti apa yang terlintas tersebut tersendat oleh rasa takut ‘was-was’. Sikap rasa bersalah pun menghantui diri. Namun tetap tidak bisa mengambil satu keputusan dan tindakan. Keragu-raguan telah mendominasiku.

Namun harapan dan keinginan untuk keluar dari permasalahan, memperbaiki keadaan tetap ada. Harapan trakhir akhirnya saya harus berpasrah kepada Dia yang maha kuasa atas segala-galanya, ya hanya kepada Tuhanlah harapan dan impian itu saya tumpukan. Karena bagaimanapun apa yang terjadi terhadap diriku ini semua karena kehendaknya.

Jalan ini pun pasti akan banyak menuai kritik, saya lemah saya mudah putusasa dan terlalu mendewakan hal yang tidak konkrit. Tapi yang pasti saya telah berupaya menaklukan segala yang ada pada diri, akan tetapi tetap saja ketakutan dan rasa was-was itu tidak juga dapat dihilangkan.

Hanya dengan mengembalikan sepenuhnya pada yang kuasa hati akan sedikit lega. Keyakikan bahwa Tuhan memilki renca yang terbaik setelah ini, mungkin pengarapan semacam itu bisa menjadi pelipur dan obat pedih hati. Barangkali orang akan menilai saya terlalu pasrah dan kurang berikhtiar. Bairlah kata itu mengalir toh nantinya akan berhenti sendiri. Saya sudah lelah mengejar logika dan retorika.

Jika orang mengatakan saya lemah. Saya akan akui itu. Jika orang mengatakan saya tidak berusaha keras, saya telah berusa. Jika orang mengatakan saya terlalu tergantung pada orang, setidak-nya saya telah mencoba keluar dari hal itu. Bagaimana prisepsi orang tentang saya, akan saya terima. Saya tertutup, memang karena saya tidak mau melibatkan orang terlalu jauh dalam pribadi saya.

Bertman dan berkawan adalah kodrat. Penderitaan dan kebahagian yang terjadi diri orang termasuk saya merupakan bagian yang harus disyukuri. Tak ada yang dapat saya banggakan, itu memang benar. Orang tua, famili, kerabat dan teman, mereka hidup biasa, tak ada yang istimewa selain kesetian dan pengorbanannya, untuk saya dan hidup-nya sendiri.

Saya katakan saya lemah. Saya tidak berdaya dengan kenyataan yang saya hadapi. Tapi tidak akan sampai saya bunuh diri. Karena saya misih punya iman dan percaya pada apa yang Tuhan janjikan. Di balik penderitaan akan ada kebahagian. Entah seberapa takaran kebahagian itu yang pasti Tuhan telah menjatahkan untuk saya juga manusia yang lain.
Baca Selengkapnya di sini..

Rabu, 30 Maret 2011

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM BER-ORGANISASI

Kemandirian bukan bawaan. Kemandirian tidak datang secara simultan. Ada peroses, dibutuhkan kebisiasaan dan latihan secara konsisten untuk mencapai kemandiri. Kemandirian bukan monopoli pada seorang pemimpin saja. Kemandirian harus tumbuh dari setiap individu, kemudian individu membentuk kelompok, dari kelompok membentuk komonitas. Kemandirian harus menjadi sepirit dan polarisasi dalam hidup keseharian. Ketika, individu, kelompok dan komonitas telah tercipta kemandirian maka akan tercipta satu tatanan hidup yang diniamis.


Kemandirian di dalam organisasi misal, sebuah organisasi harus bisa menciptakan sikap kemandirian. Dengan adanya sikap kemandirian maka pola perjalanan organisasi akan mampu bersinergi dengan baik. Oleh sebab itu seorang pemimpin dituntut mampu membangun kemandirian dengan cara memberikan kepercayaan dan kontrol secara berkala dan berkelanjutan. Control diperlukan sebagai alat dalam melihat sekala dan prioritas selama ia bekerja atau berada di organisasi. Selanjutnya kepercayaan merupakan satu instrument guna membangun kemandirian terhadap diri dan patner itu sendiri “anggota”.


Dengan diberikan kepercayaan pada diri individu dimungkinkan individu tersebut akan terjadi dinamika “kompetensi” berupa tanggung jawab. Menumbuhkembangkan rasa percaya diri dan tanggung jawab bukan satu hal yang mudah dan juga bukan hal yang sulit. Maka pola intraksi dan komonikasi bisa didorong guna menciptakan pengaruh terhadap individu yang lain.


Jangan memarahi kesalahan yang diperbuat oleh anggota. Bimbing dan dekatilah beri perhatian supaya mereka lebih terpacu. Pembimbingan terhadap anak buang “anggota organisasi” dapat dilakukan guna mencapai target yang ditetapkan. Peningkatan pola kerja dapat dilakukan secara bersama atau perorangan yang memfokuskan pada struktur atau apa yang seharusnya dilakukan dan perlu ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan prinsip ESQ yang diurai oleh Ary Ginanjar Agustian.


Dan apa bila ada anggota berhasil meningkat kinerja dan kepedulian terhadap organisasi maka harus ada semacam penghargaan baik secara penempatan dan bisa pula berupa materi dll. Upaya semacam itu dimungkinkan diterapkan dalam keorganisasian untuk memicu sikap dan ke-integritas-an anggota.


Tak mudah mengelola sebuah organisasi. Bukan berarti tidak bisa. Kematangan dan kometment dapat menjadi bekal seseorang untulk menjalankan roda ke-organisasi-an secara baik dan sistematis. Keterbukaan antara anggota dengan anggota lain menjadi kunci dalam membangun seprirt yang lebih baik. Hindarilah sikap menggurui sesama anggota, karena pada perinsipnya manusia paling anti terhadap cara-cara seperti itu.


Kunci keberhasilan tidak dapat diukur dengan melimpahnya materi, atau kita bisa memimpin satu perusahaan besar. Karena banyak para pemimpin perusahaan besar ternyata mengecewakan karyawan-nya. Mengapa banyak pemimpin perusahaan mengecewakan karyawan-nya, jawabnya sederhana. Pertama tidak adanya komonikasi yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin. Terkadang seorang pemimpin lebih mengedepankan sikap otoriter--nya, dan mengabaikan aspirasi bawahannya.


Organisasi atau perusahaan bukan milik individu maka sikap individual itu harus dihindari. Setiap orang memiliki kepentingan dan penting bagi seorang pemimpin memahami kepentingan anggotanya. Tapi bukan berarti pemimpin harus tunduk dan terkontaminasi oleh banyak kepentingan. Komonikasi dan lakukan komonikasi, paparkanlah kepentingan perusahaan dan akomodasi kepentingan anggota. Karena dengan mengakomodasi kepentingan anggota/karyawan , dengan sendirinya karyawan akan mengedepankan kepentingan bersama.


Bangun sikap disiplin. karena disiplin akan membawa pada kesuksesan dan keberhasilan. Sukses belum tentu berhasil. Dan sukses merupakan keberhasilan. Kita tentu masih ingat dengan pertandingan sepak bola piala AFF. Timanas sukses dalam setiap pertandingan dengan kemenangan tapi belum berhasil menjadi juara. Dibalik kesuksesan TIMNAS tidak lepas dari peran seorang pelatih Aflrid Ridel. Aflrid Ridel sangat berpengaruh dalam membawa kesuksesan TIMNAS. Kedisiplinan, itulah yang diterapkan oleh sang pelatih, jika ada pemain yang tidak disiplin mereka harus membayar denda. Namun Aflrid Ridel belum bisa membawa garuda berhasil, “berhasil juara”.


Kita tenggok bagaimana TIMNAS Malaysia, sebagaimana kita tahu mereka sering kalah dalam pertandingan. Tapi mereka berhasil menjadi juara. Mengapa bisa demikian. Tim malaysia berhasil membangun soliditas diantara pemain. Mereka berhasil membangun rasa percaya diri yang tinggi. Kekalahan-kekaahan sebelumnya tidak menjadikan mereka jatuh, dan mereka berhasil menjadi juara.

Kita tenggok Indonesia. Dari sejak awal pertandinagan piala AFF Indonesia selalu menjadi pemenang. Kemenangan yang mereka raih sukses membawa anemo rakyat negeri ini jadi satu-kesatuan INDONESIA “nasionalisme” itu bangkit dan itu menjadi bukti suksesnya TIMNAS kita. Tapi TIMNAS belum berhasil menjadi juara.


Ada beberapa faktor mengapa TIMNAS Indonesia hanya membawa kesuksesan dan belum sampai berhasil menjadi juara. Pertama beberapa kemenangan yang diraih menjadikan TIMNAS enteng. Kedua perhatian yang berlebihan dari luar TIMNAS “politik” menjadi salah satu pengganggu kenapa TIMNAS gagal. Kemudian mengentengkan pemain Malaysia karena di beberapa pertandingan dikalahkan oleh Indonesia, itulah yang menyebabkan pemain akhirnya keteteran. Coba pada pertandingan di di bukit jalil Tim dari indonesia bisa mempertahankan dengan 0-0 maka mimpi menjadi sang juara sudah terwujud.


Mengelola sebuah Club dan organisasi tidaklah jauh beda. Semangat dan kebersamaan menjadi kunci berhasil tidaknya satu organisasi. Seorang pemimpin organisasi harus mampu menerapkan disiplin tinggi, tapi jangan sampai berlaku otoriter. Pemimpin mempunyai kendali tapi jangan lupa pemimpin juga harus mau dan berani dikoreksi.


Pemimpin organisasi dituntut mampu memberikan teladan dan menjalankan semua visi-misi yang telah ditetapkan. Seorang pemimpin harus mampu membangun soliditas, dan meningkatkan kepedulian terhadap anggota, hal semacam merupakan cara sederhana yang bisa dilakukan disetiap saat. Pujian dan harapan bisa menjadi langkah untuk membangun rasa memiliki terhadap anggota. Sekecil apa pun sumbangsih yang dilakukan anggota pujilah karena itu akan meningkan energi kebersamaan.


Bangunlah harapan bersama-sama anggota. Jadikan anggota sebagai satu kesatuan dalam setiap langkah dan keputusan yang akan diambil. Minimkanlah perbedaan dengan menyatukan sikap dan presepsi. Berpulanglah pada visi-misi yang telah dibangun sedari awal.


Salam semoga Allah meridoi kita semua



Malang, 24 Maret 2011
Baca Selengkapnya di sini..

Selasa, 29 Maret 2011

AKU ANAK KAMPUNG

Aka bukan Comrie
Yang pandai mentautkan valensi
Aku bukan Perlmutter dan Postal
Yang lihai menyusun bait menjadi sajak
Kemudian dimengerti
Aku hanya anak kampung
Yang lata pada Eropa

Aku bukan Goenawan Mohamad
Yang mampu memainkan nalar dan logika
Aku juga bukan Hj. Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang
Yang mampu menyusun naskah jadi cerita
Aku hanya anak kampung
Tak perna tahu zaman aku berdi

Aku bukan Sapardi Djoko Damono
Yang lihai menuangkan ide
Aku bukan Rendra,
Aku bukan Sutardji
Aku bukan Danarto,
Aku bukan Budid Darma
juga bukan Pramoedya Ananta Tour
Yang mampu menuang sejarah bangsanya.
Aku tidak bisa seperti mereka
Aku anak kampung


Malang 28 Maret 2012
Baca Selengkapnya di sini..

Senin, 28 Maret 2011

ANTARA AKU, TEMAN-PACARKU III

Kemudian aku pun mencoba mendekati teman yang akrab dengan Vani, kemudian dari temannya itulah akhirnya aku bisa mendapat sedikit keterangan mengenai sikap-nya. Aku masih belum begitu yakin kemudian akupun minta tolong pada teman Vani kapan bisa ketemuan. Akhirnya aku bisa bertemu. Pertemuan itu tidak aku sia-siakan aku pun banyak mengorek prihal sikap dia dan perubahan dia selama ini.


“Van teriama kasih atas waktu kamu menemui aku, aku minta maaf jika selama ini aku punya salah pada kamu” aku memulai pertemuan itu sedikit berbasa-basi.
“memang ada apa, kamu mengajak ketemuan seperti ini ??, kalau Cuma minta maaf sudah aku maafkan sebelum kamu minta maaf” Vani menjawab dengan singkat. Vani membelakingiku. Kemudian aku makin tanda Tanya “kok gak seperti biasa Vani seperti ini”, Tanya dalam hati.

“oya makisih kamu telah sudi memaafkan aku, tapi kalau ngomong jangan membelakangi gitu la, memang aku menakutkan ta ?, aku coba untuk mengajak Vani sedikit goyon, namun dia hanya diam.

“Van kita adalah teman baik, ER dan kamu merupakan orang yang sangat berarti bagi aku, tapi perubahan sikap kamu yang tiba-tiba ini sungguh membuat aku bertanda Tanya besar, mungkin bila kamu bersedia bercerita aku akan senang.” Percakapan antara aku dan Vani pada saat itu berlangsung lama, sekitar 2 jam. Namun dalam pertemuan itu aku tidak berhasil menemukan jawab atas pertanyaan-pertanyaan selama ini, tapi setidaknya dia telah berjanji untuk bisa bersikap seperti biasa.

Keesokan harinya saat berangkat kesekolah kebetulan kita berpapasan di jalan, pada saat itu aku berangkat agak pagi ekita pukul 06.00 karena aku masih belum mengerjakan tugas dan hendak ke ke rumah temanku, tiba-tiba dari belakang ada suara wanita memanggilku “Hai yan, tumben berangkat pagi…. ..” Aku menoleh ternyata Vani, kita pun berangkat bersama, semenjak peristiwa ‘ketengangan hubungan perteman’ baru kali ini Vani duluan menyapaku. Saat itulah kita ngobrol-ngobrol, vani yang biasanya cuek terlihat lebih akrab dan wajahnya lebih bersinar. Di tengah perjalanan tiba-tiba dia menyinggung masalah ER.

“bagaimana hubungan kamu dengan ER, kapan selamatanya” sontak aku terkejut dengan pernyataan itu, akupun berpura-pura tenang, apa mungkin dia tau soal aku menyukai Er Tanyaku dalam hati, tidak mungkin.

“loooh kenapa kamu Tanya seperti itu, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan ER!!!!” aku coba mengilak.
“alaaaah kamu ini memang pinter mengelak”
“memang aku pernah bilang aku suka ER atau siapa”
“ya dak si…h”
“la terus kenapa kamu tiba-tiba berkesimpulan seperti itu”
“ya lihat kamu yang semakin akrab sama dia”
“gak apa-apa kamu cocok sama dia, dia kan cantik tidak seperti aku” vani pun terus memancing pengakuan, namun aku alihkan pembicaraan
“udahlah jangan bahas itu!!”

Perjalan pagi itu sungguh menyenangkan, senang lantaran Vani sudah benar-benar berubah. Kami berjalan dengan santai sambil ngobrol panjang. Sesekali aku memperhatikan wajah Vani, selintas aku teringat pada wajah ER, vani memang tidak secantik ER namun sikapnya yang mesterius membuat aku jadi memikirkannya dan kepikiran sama dia.

Selesai maslah satu timbul masalah lain. Saat aku asyik menikmati kemesraan ‘akrab’ dengan Vani disisi lain ternyata ada yang tidak suka. Er sekarang malah memilih hengkang dan tidak menyapaku, tentu saja aku benar-benar dibuat pusing. Padahal keakrabanku dengan Vani hanya beru berselang tiga hari dan sekarang malah ER yang berubah.

Waktu istirahat sekolah aku menyambangi ER di kelasnya. Kebetulan Er dan Vani satu kelas. Setelah aku sambangi ER malah memilih menghindar dan ia memilih keluar kelas dan pura-pura tidak melihat aku. Waktu itu hanya Vani yang menyapa dan mengajakku ngobrol, aku pun ngobrol sebentar kemudian aku pamit untuk menemui Er, dengan santai Vani malah tersenyum seakan-akan mengeledeku “emang ada apa becsritan ma ER” tegur Vani sambil tersenyum.

Aku pun tidak ambil pusing dengan sikap ER yang berubah. Keakrabanku denngan vani pun semakin dekat. Sekitar tiga bulan kebih kami saling bertukar cerita satu sama lain. Ternya selang waktu itupun menghantarkan berubah haluan. ER yang menggugah hatiku—dan pada ujungnya dia cuek tanpa kutahui alasannya, aku mencoba mengubur prasaan dalam-dalam. Selang waktu yangkat bersama Vani aku menemukan kehangaian.

Awal pertama aku pun tidak bisa menyatakan perasaanku pada Vani namun aku juga merasakan bahwa Vani ada perasaan yang sama. Sebelum aku resmi jadian dengan Vani Erfan teman sekelasku satu desa beda kampung juga menaruh perasaan sama Vani. Erfan jauh hari sebelum aku baikan dengan Vani memang terlihat akrab, bahkan isu yang kudengar dia jadian sama Vani, entah kenapa aku merasa cemberu ketika Vani berjalan sama Erfan.

Persahabatanku dengan Erfan pun sedikit terganggu aku sendiri memilih untuk ambil jarak sama dia. Kemudian untuk memastikan kecurigaan, aku meminta penjelasan sama Vani prihal hubungan dia dengan Erfan. Saat aku tanya Vani mengilak dan mengaku tidak ada hubungan apa-apa, kemudian waktu itu aku jadikan kesempatan menyatakan cinta.




Baca Selengkapnya di sini..

TUHAN TIDAK MATI

Buat Friedrich Nietzsche , Tuhan masih hidup
Aku bisa melihat Tuhan di air yang mengalir
Dan aku nyatakan- Tuhan itu ada
Ada bersama kematian dari satu dan banyak watu

Gejala alam :
Luapan lahar, amukan tsunami, dan gempa bumi
Ada lakon di balik ke-adaan alam yang tak biasa itu
Dan itu cukup mematah asumsi Friedrich Nietzsche
Tuhan tidak mati

Matahari, rembulan udara, air dan planet, nyata ada-Nya
Siklus itu dia atur dengan kerumitan
Tak sebagaimana adanya “tak jub”
Ketakjuban adalah kejujuran tentang yang tak nyata
Dan yang taknya itu mengatur dan membinasakan pula

Tuhan monopoli atas nila juga yang lain-lain
Kita menghunus kerakusan atas Tuhan
Tapi, Kerakusan tak bisa meniadakan yang ghaib—Tuhan
Friedrich Nietzsche juga tak mampu bertahan—mati
Dan siklus menyatakan Tuhan itu ada

Malang 28 Maret 2012
Baca Selengkapnya di sini..

ANTARA AKU, TEMAN-PACARKU II


Waktu pun berlalu, sementara permasalahan antara ER, Vani juga aku masih diselimuti tanya….? Ya sikap Vani yang tiba-tiba berubah menimbulkan tanda tanya, hal semacam itu ternyata juga dirasakan oleh ER. Bahkan pada sela waktu tertentu ia bertanya prihal sikap Vani yang tiba-tiba berubah. Aku pun tidak dapat menjelaskan kenapa Vani berubah.

Aku bertanya pada diri sendiri, apa mungkin ia cemburu lantaran keakrabanku dengan ER. Mengapa ia cemburu ? padahal antara aku dan ER hanya sebatas pertemanan. Aku sendiri tidak ada keterikatan dengan siapapun jadi aku bebas bergaul dengam siapa saja !!!. pikiranku terrus bergulat. Aku pun tidak mau ambil pusing dengan perubahan sikap Vani terhadap keakrabanku dengan ER, justru antara aku dan ER semakin akrab, setiap pulang kami selalu pulang bersama, berangkat pun juga bersama.

Keakrabanku dengan ER semakin hari semakin mesra, benih-benih perasaan ‘cinta’ pun makin terasa, namun aku tidak bisa semerta-merta menyatakan prasaan. Keakrabanku dengan ER aku nikmati dalam suasana canda, namun gejolak hati tak dapat aku pungkiri, diam-diam aku tatap wajh ER pipinya yang kemerah-merahan membuat hati berdeguk, senyumnya bagai menghalau gemuruh kalbu, pada saat-saat seperti itu ingin aku berterus terang namun tidak bisa kumelakukannya. Apakah ER juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasan, pertanyaan itu tidak dapat aku jawab.

Pada saat-saat itulah aku mulai merasakan hasrat (ketertarikan terhadap lawan jenis) dalam bahasa akrapnya ‘cinta’, namun aku masih belum berani mengungkapnya. Mungkin aku terobsesi oleh sikap Vani yang tiba-tiba berubah ‘cemburu’ tanpa kuketahui alsanannya, namun pada perjalanannya aku malah jadian sama vani hal ini akan diceritakan pada pembahasan lain.

Satu saat aku pernah menaruh surat, surat itu aku masukkan pada sebuah fentilasi kamar ER, dalam surat itu sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa, hanya mengungkapkan kekagumanku pada dia.

“……..ER kau sangat cantik. Paras wajahmu yang elok dambaan setiap lelaki. Di balik balutan jilbab kau begitu anggun mempesona. Pujian ini mungkin sudah ribuan kali kau dengar, namun aku perlu mengungkan. Seandainya aku mampu menghiasi dan mewarnai perjalanmu betapa sangat bahagianya aku. Namun Er apalah arti diriku bagimu, kau laksna laut yang mendayu seiring tarian ombak, sementara aku hanyah buih di tepian.

Kau tercipta tanpa cela, cayaha kecantikanmu silaukan pandangku. Tutur sapa taklukan hasratku. Ingin kugapai engkau dalam mimpi nyataku tapi pusaran waktu seakan menelantarkan niat. Akhirnya aku hanya bisa mematung dalam impian dan harap. Andai kau tahu dan akau tahu bahasa tubuh maka ……. Tapi aku pun sadar bahwa tak mungkin bagiku meraih rembualan. ……………….

Surat itu kulis tanpa alamat jelas dari siapa dan untuk siapa, keesokan harinya saat akan berangkat ke Sekolah Er pun bercerita mengenai surat buta itu, aku hanya tersenyum dan bilang, ‘ya itu orang yang kagum pada kamu’ kemudian aku pun mengalihkan pembicaraan. Oya Er aku masih penasaran sama sikanp Vani yang tiba-tiba berubah.

“aku juga gak tau, ya biarkan saja” ungkap Er dengan santai
“masak ia cemburu pada kita”
“Aku juga gak tau”
“Menurut kamu kira-kira bagaimana”
“Udahlah jangan bahas itu, mungkin dia naksir sama kamu”
“la..h kok bisa,”

Er pun mengalihkan pembicaraan. Kemudian dia bercerita masalah hubungan dengan mantannya dan soal tungannya yang diputus. Tanpa terasa kami telah tiba di sekolah. Sementara dari kejauhan Vani sudah ada di serambi sekolah. Dari jauh dia terlihat memperhatikan kami.
“tu lihat Vani memperhatikan kamu”
“Wah jangan gitu lah” aku mencoba mengelak.

Memang akhir-akhir ini Vani terlihat sering memperhatikan aku, lebih-lebih ketika aku berjalan atau ngobrol dengan ER. Seiring waktu pertemannu dan ER juga mengami pasang surut, hal itu terjadi ketika aku coba untuk mendekati Vani. Sebenarnya aku mendekati Vani lantaran aku ingin mengorek lebih jauh prihal sikapnya. ER merupakan perempuan pertama dalam mewarnai perasaan cinta. Namun pada perjalanannya perasaanku terhadap Er sendiri tidak terungkapkan.

Vani dia adalah wanita seksi, namun postur tubuhnya di bawah ER, Vani memiliki tinggi badan berkisar antara 55-60 cm. kalau Er periang dan mudah bergau sementara Vani orang agak tertutup dan sedikit pendiam. Akhirnya aku pun kesulitan untuk melakukan pendekatan. Kerana semenjak Vani memilih menjauhi Er, kita pun tidak sering ngobrol seperti dulu, bahkan kalau berangkat sekolah sering barang, sekarang hal itu tidak lagi.
Baca Selengkapnya di sini..

Minggu, 27 Maret 2011

ANTARA AKU, TEMAN-PACARKU I

Kawan…….. sebenarnya tidak ada kisah romentis dalam perjalanan hidupku —apalagi soal cinta. Jujur aku berkeberatan untuk menceritakan kisahku ini, tapi tidak mengapa pada akhirnya aku menyerah dan saatnya terbuka soal perjalanan hidup ‘cinta’ ini. Aku mengenal aroma cinta pada saat aku sudah duduk di bangku MTs, namun aku belum terlibat dalam cinta, saat itu kakak kelasku Dani melakukan pendekatan pada salah satu cewek sebut saja ER, sejak itulah aku banyak mendengar kisah dan harapan atas nama cinta

Dani Sekolah di SMP. ER sekolah di MTs dan, jarak sekolah ER dan Dani pun sekitar 2 km, tapi mereka masih satu desa (kampung) dan aku sendiri satu sekolah sama ER Cuma beda kelas. ER kelas II dan aku masih kelas I.

Aku dan Dani sangat akrab dan boleh dikatan dekat sekali bahkan dia sering menginap di rumahku, dia pun sering memanfaatkan aku untuk melakukan pendekatan sama ER atas nama dia, karena aku anak baik …heheh aku pun mengikuti saja, Aku tidak ada rasa curiga atau berfikir yang macam-macam, polos gitulah…, singkatnya ER dan Dani pun jadian.

ER kesehariannya dikenal sebagai seorang perempuan yang periang, dia murah senyum, tak jarang lelaki terpikat oleh senyumnya, di Desa ia bagai bintang sinetron ‘Paramita Rusadi’. ER memang primadona di kampungku, wajar kalu dia menjadi rebutan para remaja termasuk Dani temanku itu. Postur tubuh ER berkisar 6,5 cm, dia pandai bergaul dengan teman-temannya. Kalau ke luar rumah dia selalu memakai jilbab, maklum di kampoeng lingkunagnnya nuansa pesantren jadi kultur ketimuran amat dijungjung tinggi. Tapi meskipun begitu aura kecantikan ER tidak lusuh dibelai jilbab. Bahkan dia terlihat anggun penuh sahaja, tatapan matanya tajam, alisnya bak bunga tanjung yang merekah, kalau bejalan seperti para model yang berjalan di atas ketwork.

ER adalah gadis pingitan, Ia telah ditunangkan sebelum ia mengenal apa arti cinta, ketika Ia mengenal cinta akhirnya dia memilih menjalin hubungan dengan Dani, jalaninan cinta ER dan Dani merupakan cinta terselubung, semenjak awal Er serinmg bercerita pada teman-temannya termasuk aku bahwa Ia tidak suka pada tunangannya.

Tunangan itu dibangun atas dasar kesepakan antar orang tau ‘pihak orang tua laki-laki dan pihak orang tua perempuan’ Er tidak menginginkan pertungan itu, singkat cerita Er sanggup bertahan dengan tunagannya berkisar dua tahun. Saat berpacaran dengan Dani dia pun memutuskan menyurati tunangannya “memutuskan” langkah ER ditentang oleh kedua orang tuanya, namun kisruh cinta antara Er dan Dani sudah merebak menjadi pembicaraan warga, akhirnya Er pun resmi putus dengan tunanganny dan tunangannya pun tak selang lama melamar wanita lain yang kemudian tunangan ER menikah.

Kisah cinta ER dan Dani tidak bertahan lama setelah kisruh, hubungan cinta mereka kandas, ER putus dengan Dani, keduanya terlihat murung dan putus asa, bahkan Dani yang kerap menginap di rumah jarang menginap lagi, perlahan namun pasti Dani seperti menyimpan sesuatu ‘marah—cemburu’ namun keakrabanku dengan ER tetap seperti biasa, setiap pulang sekolah kami sering barang, ya sekedar berbagi cerita dan bercandaria bersama dengan teman-teman yang lain.

Satu saat Er menyuruhku untuk main kerumah pamannya, aku pun datang ke sana, di rumah pamanya itu dia banyak bercerita soal pribanya pada saya, dari asyiknya bercerita kami sempat lupa waktu, akhirnyta kamipun ditegur oleh ibu ER. Perbincangan kami hentikan. Ternya perbincangan kami dimaknai nigatif oleh keluarga ER, kami disangka ada hubungan, padahal kami hanya berbagi cerita dan saling memberikan sprot. Kecurigaan dan tuduhan ibu Er atas percakapan itu pun meluas hingga teman ER si Nani mendengar.

Nani dan ER adalah teman akrab, kalau pulang sekolah keduanya sering jalan bersama. Peristiwa percakapan itu ternyata membuat persahabatan itu merenggang, ‘walau tidak tampak secara kasat mata’. Urus keurus ternaya Nani menaruh perhatian sama saya, percakapan antara aku dan ER itu membuat dia cemburu. Nani cemburu pada kami, hal itu kuketahui dari temannya selvi menurut selvi nani merasa risih dengan keakraban kami.

Orang kampung memang sangat sensitive menilai seseorang apalagi soal kedekatan anatara lawan jenis. Bila lawan jenis saling akrab hal itu akan menjadi buah bibir yang berkepanjangan. Di kampung ngobrol atau bercakap-cakap biasa saja akan bermakna nigatif, wajar jika pemuda atau remaja memilih menjalin hubungan dengan cara sebunyi-sembunyai.

Melihat ketengan perteman anatara Nani dan ER, Saya pun bertindak sebagaimana dengan teman-teman yang lain.

Langkah pertama aku melakukan pendekatan dengan Nani, aku Tanya secara baik-baik kenapa akhir-akhir ini dia terlihat memilih menyindiri berubah. Biasaya berangkat-atau pulang sekolah bareng sekarang tidak. Tapi apa jawabnya “aku memilih untuk tidak bereng dengan kalin, karena aku tidak mua kena getahnya” pernyataan itu semakin membuat aku penasaran dan entah kenapa aku sendiri tidak atahu, satu kali dia pernah mengeluarkan stetmen “kamu cocok dengan ER dia lebih cantik, apa arti aku dibandingkan dia”. Aku semakin bingung dengan pernyataan dia.

Bersambung..........
Baca Selengkapnya di sini..

Sabtu, 26 Maret 2011

MITOS DAN ZIAROH KUBUR (Kilas perjalanan santri Al-hijroh)

Pesantren Al-hijroh merupakan salah satu pesantren Mahasiswa. Beralamat di jalan Tambaksari no 16,c Merjosari Malang. Pesantren ini dibangun oleh Prof Imam Suprayogo, sekarang Rektor Uin Maulana Malik Ibrahim Malang. Namun pada perjalanan pesantren Al-hijroh tidak dikelola langsung oleh bapak Imam. Kesibukan dan tanggungjawab yang lebih penting mengharuskan bapak Imam Suprayogo menyerahkan pengelolaan pesantren ini pada Mahasiswa. Pesantren Al-hijroh diwakafkan. Dan sekarang pesantren dikelola oleh para santri sendiri. Pesantren Al-hijroh berjalan sebagaimana adanya, “tidak mati juga tidak ramai kegiatan”. Kata pepatah Madura “di'odi' tonggek”

Malang, 10 Oktober 2010 . Santri Al-hijroh berziaroh ke Kubur Wali Songo. Ziaroh kubur merupakan agenda dadakan Pondok. Saat itu para santri sepakat untuk berziaroh kubur pada para Wali. Wali (Wali Songo) merupakan pembawa pembaharuan islam khususnya di jawa. Tidak semua ke sembilan makam Wali kami ziarohi. Kami hanya melakukan ziaroh ke beberapa makam diantaranya : Sunan Apel, Sunan Giri, Sunan Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Bonang.

Sekitar pukul 07.15 m seluruh rombongan sudah ada di dalam Bus. Rombongan tidak hanya terdiri dari santri. Dari santri sekitar 25-30 orang, sebagian lagi tetangga tetangga Pondok. Ada empat kepala keluarga ibu dan anak yang ikut rombongan, dari sebagian kepala keluarga merupakan Usztad yang sering membimbing ta'lim (panggilan akrabnya ustad Za'roni). Ada Sebagian santri tidak bisa ikut. Mereka yang tidak ikut lantaran masih ada di rumah atau belum balik ke pondok. Maklum santri yang rata-rata mahasiswa ini baru menghabiskan liburan di kampung halamannya.

Saya kira ini merupakan perjalanan yang menarik, insyaallah berpahala. Menarik lantaran dari tujuan-nya “ZIAROH KUBUR WALI SONGO”. Sebelumnya saya tidak pernah tahu seperti apa Makam Wali Songo. Saya tahu Wali Songo dari cerita tetangga atau guru di sekolah. Wali Songo memang sangat terkenal dan berpengaruh di tanah jawa. Wajar bila Alumni Al-hijroh tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut bergabung dengan rombongan.

Berdoa-dan mendoakan. Tujuan dari rombongan ini hanya sebatas berdoa. berdoa di makam para wali, atau mendoakan para wali. Aneh tapi itulah tradisi yang mengakar di kalangan jawa. Konon banyak doa yang terkabulkan “mendapat berkah dari para wali itu” doa-nya. Benar atau tidak cerita itu nyata-nya banyak orang yang berbondong-bondong untuk sekedar berdoa di makam para wali ini.

Saya perhatikan para peziaroh di makam wali. Ada yang membaca yasin, ada nangis ada yang mengambil sesuatu seperti batu, atau meminum air. Kebetulan pada saat itu ada ibu-ibu yang sedang bersemangat cuci muka dan minum air di area makan Sunan Maulana Malik Ibrahim. Saya coba iseng tanya, untuk apa minum air dan cuci muka di tempat ini ? “biar awet muda dan agar mendapat berkah serta kesehatan” jawab ibu pada saya. Saya pun tidak banyak tanya. Dan ternyata di belakang banyak orang yang antri panjang sekitar 10-15 m, hanya untuk minum dan cuci muka. mereka lakukan itu hanya untuk awet muda dan tidak sakit-sakitan. Entah logika apa yang mereka pakai “air, awet muda, dan sehat”.

Mungkin kita masih ingat dengan dukun kecil Ponari. Ponari si bocah Jombang laris-manis diburu para pasein yang haus akan sembuh. Masyarakat ingin kesembuhan. Seperti para peziaroh yang ingin awet muda dan selalu sehat. Kehendak dan kuasa menundukkan logika, dan Tuhan pun kita tuntut tunduk atas kehendak kita. Orang hanya ingin praktis dan murah. Itulah yang ada dipikiran orang yang berziaroh dan mereka yang rela pingsan demi mendapat air dari Ponari dari Jombang.

Saya ingat tausiah guru KH. Subaidi Zubair pengasuh pesantren sekaligus pengurus yayasan salafiah di Sumenep, mengatakan “Berziaroh ke makam-makam ulama' atau para waliullah tidak ada yang melarang doa-mendoakan antara yang hidup dengan yang meninggal itu mungkin dilakukan. Tapi alangkah naif dan rendahnya ahlak kita, bila kita berziaroh ke-makam-makam ulama' atau para waliullah lalu melupakan makam para orang tua kita. Dan lebih naif lagi kita tidak pernah ingat dan mendoakan mereka”. Ceramah itu di sampaikan di area Asta Tenggina hadir pada saat itu KH. Khafid (Al-marhum) Tirmidzi Mas'ud, S.Ag Kepala sekolah SMA Al-in'am.

Bagaimana dengan teman-teman santri, apakah mereka sudah terbiasa dan membiasakan diri berziaroh ke makam para orang tua mereka (ayah, ibu, atau kakek dan nenek). Atau itu menjadi hal yang asing. Saya tidak dapat menyimpulkan. Namun perlu kita pertanyakan, kalau ke makam para Wali kita bisa menyempatkan diri untuk bersiaroh dan berdoa-di sana, lalu pada orang tua kita sendiri lupa, itu namanya terlalu.

Dalam khasnah klasik disebutkan bahwa doa orang hidup itu sampai dan didengar oleh orang yanga ada di alam kubur. Dan orang yanga ada di alam kubur konon bisa mendoakan orang hidup, tapi tidak bisa berdoa untuk dirinya. Tergantung apakah doa yang kita panjatkan itu nanti Tuhan kabulkan atau tidak. Karena otoritas ada pada Tuhan seru sekalian Alam.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mencari wangsit agar nomor togel mereka tembus. Konon banyak orang yang membuktikan itu. Saya pernah ketemu dengan orang yang suka main togel “nomor”, sebut saja pak Ito’, Dia pernah melakukan ritual “menyepi di kuburan untuk mendapat wangsit” agar nomor-nya tembus. Dan memang pada waktu tertentu pak Ito’ berhasil. Tapi tidak selalu. “bisanya datang dalam mimpi mas, tapi ya ... jarang-jarang” ungkapnya pada saya. Masih menurut orang yang pernah saya temui itu. Dia pernah melakukan ritual agar nomor tembus, tidur di atas makam orang baru meninggal kira-kira masih satu mingguan, konkon kalau ritual itu dilakukan pada orang yang matinya tidak wajar (terbabrak, mati melahirkan) akan lebih cepat lagi.

Namun saya berkeyakinan teman-teman santri yang ziaroh bukan sebatas untuk berdoa untuk sekedar memohon agar men-dapat jodoh, rejeki yang melimpah, atau supaya nilai kuliah bagus dll. Lebih dari itu santri yang nota beni mahasiswa ini, bisa melakukan tela'ah sejarah dan refleksi budaya. Para wali sukses melakukan syiar islam karena mereka bisa menyemai budaya masyarakat dengan nilai-nilai islam universal. Menyiarkan islam dengan metode budaya akan mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Baca Selengkapnya di sini..

Jumat, 25 Maret 2011

MADURA PASCA PEMBANGUNAN JEMBATAN SURA-MADU

Setiap yang ada di dunia ini ada yang mengadakan “diciptakan”. Dan setiap penciptaan “kebijakan” mempunyai dua implikasi. Implikasi positif juga nigatif. Keberadaan dan yang mengadakan selalu memiliki alasan dan sebab mengapa sesuatu yang tiada itu harus diadakan. Begitupun dengan “adanya” Jembatan Terpanjang se-Asean “SURA-MADU”. Penguasa berkepentingan dengan keberadaan Sura-Madu. Pembangunan Jmbatan Sura-Madu sudah diperhitungkan dengan satu tujuan dan sasaran.

Namun apakah tujuan dan sasaran itu kini dirasakan oleh rakyat ?.

Bagaimana para penguasa menjalankan misi dan memuluskan kepentingannya ? “Rakyat demi rakyat dan untuk mensejahterakan rakyat” barangkali kata itu sering kita dengar dari dan oleh penguasa. Setiap kebijakan yang diputuskan oleh dan dari penguasa selalu dibungkus demi dan untuk rakyat. Namun dari dulu hingga sekarang kehidupan rakyat tak mengalami perubahan berarti. Kesenjangan semakin meningkat antara yang berkepentingan dan yang dipentingkan.

Problematika kesejahteraan dan nasip rakyat menjadi dagangan paling laris oleh orang-orang yang berkepentingan “penguasa”. Di sisi lain kehidupan rakyat tak sungguh diperhatikan, samapai saat ini hidup mereka jauh dari layak. Langkah dan strategi kebijakan yang diputuskan oleh penguasa tak bisa menyelesaikan dan memberikan harapan “menuju hidup layak”.

Kehidupan kontras antara penguasa “orang kaya” dan si miskin menjadi parade klasik, muncul ke per-muka-an dan kemudian tenggelam. Muncul ke per-muka-an ketika penguasa hendak menjalankan aksi dan misinya. Dan setelah kepentingan penguasa selesai kehidupan si miskin kembali tenggelam. Orang miskin dijadikan penyakit dan sebab ke-sembraut-an oleh penguasa, setidaknya itulah asumsi yang bisa kita petik dari aksi dan kebijakan yang diterapkan. Orang miskin digusur dan dimusnahkan oleh satpol PP, satpol PP sebagai kaki tangan kekuasaan bergerak dengan palu dan tongkat “memukul-menghabisi”, ya si miskin yang tak berdaya hanya bisa menangis.

Potret kemiskinan ada di mana-mana dan hal itu bukan tidak diketahui oleh penguasa. Di ibu Kota Jakarta, Papua-Nobere dan Madura orang miskin selalu tersisih. Orang miskin menjadi objek dan dijadikan objek tindak kriminal dan kekerasan. Di depan hukum orang miskin dijebloskan ke penjara tanpa harus ada proses peradilan. Maklum orang miskin tak punya banyak duit untuk menyewa pengacara.

Seperti yang hendak saya kemukakan di awal tulisan, bahwa kebijakan selalu memiliki dua implikasi positif dan nigatif. Implikasi potisif dari sebuah kebijakan “pembangunan” tidak begitu jauh dari tujuan kebijakan, memberikan pelayanan maksimal, mempermudah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan pengembangan infra struktur. Namun apakah tujuan dari kebijakan itu sudah tercapai atau tidak. Hal itu ditentukan dari keberpihakan dan pelaksanaan di lapangan. Apakah keberpihakan itu ada pada orang miskin, atau hanya ber-orentasi pada modal dan laba.

Sementara implikasi nigatif dari satu kebijakan yang diputuskan penguasa adalah menciptakan ketimpangan. Kebijakan pembangunan akan menciptakan ketimpangan sosial. Kehidupan antara orang miskin dengan yang kaya terjadi Gab. Ketimpangan yang dialami orang miskin bukan tidak mungkin akan menciptakan caos baru. Kecemburuan, pertikaian dan meningkatnya kriminalitas. Kemungkinan itu akan terus meningkat bila tidak diimbangi kebijakan yang mengangkat kehidupan rakyat lebih baik, (memberikan ruang “padat karya”).

Dan hadirnya jembatan yang menghubungkan Madura dengan Surabaya juga tidak lepas dari dua implikasi tersebut. Oleh sebab itu masyarakat Madura sebagai tuan rumah harus bisa menjadi tuan yang baik yang mampu mengontrol dan memaksimalkan pembangunan tersebut secara baik.

Mengapa Madura
Pernahkah kita menanyakan keberadaan Jembatan Terpanjang se-Asean “Sura-Madu”. Mengapa proyek pristisius, “Sura-Madu” di prioritaskan ke Daerah Madura?, pertanyaan yang memungkinkan untuk kita ketahui dan pahami bagaimana proyek pristisius itu jatuh ke serambi Madura. Kemudian pertanyaan selanjutnya, siapa yang untung dan diuntungkan dari proyek tersebut..? apakah orang Madura diuntungkan dengan adanya jembatan Surabaya-Madura, atau siapa yang meraup keuntungan dari Jembatan tersebut ?.


Marilah kita coba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Alasan mengapa Madura yang menjadi tempat pertama dan satu-satu-nya proyek pristisius “Jembatan Sura-Madu”, ketimbang daerah lain. Madura memiliki prospek jangka panjang, sejarah yang unik. Kultur orang Madura dan keramah-tamahannya terhadap tamu hal yang kecil dari alasan ini. Satu hal yang tidak banyak diketahui oleh orang madura sendiri iya itu kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah yang belum ter-garab.

Eksotisme Madura menjadi satu pertimbangan yang tak kalah penting lahirnya proyek SURA-MADU. Selain itu khasanah budaya Madura memungkinkan untuk menciptakan satu tatanan kehidupan yang kreatif dan dinamis. Sejarah telah melukiskan bagaimana orang Madura sering berhasil menjadi tuan di negri rantau.

Basis budaya Madura yang kental dengan agama “pesantren” juga menjadi satu daya tarik, karena walau madura 99% beragama islam tidak pernah terjadi paradoks agama seperti yang terjadi di kota-kota besar lain. Bahkan keunikan orang Madura tidak suka mengurusi hak dan privasi, walau berbeda dalam soal pandangan dan keyakinan mereka tetap hidup berdampingan dan rukun.

Pertimbangan-pertimbangan itu yang hendak dirambah “mengubah wajah Madura”. Perubahan itu dimulai dengan satu tema pengembangan dan pembangunan. Dan pada kenyataan-nya pembangunan kian jauh dari kesetaraan dan kultur Madura. Jembatan dan ke-megahan-nya tidak dapat dinikmati oleh orang Madura. Orang Madura yang ke seharian di sawah dan mengembala Kambing, hanya bisa mendengar kabar dan harapan yang dijanjikan oleh penguasa. Realisanya 0 %. Jembatan itu pun semakin menghilangkan kidung suci berganti keruh asap dan bising kendaraan.

Jembatan Suramadu Tak memberi ke-untung-an orang Madura. Kemiskinan tetap menjadi persoalan yang tak terselesaikan pergantian rezim dan penyatuan antara Madura dan Surabaya tidak menjadikan mereka kenyang. Geb antara si miskin dan penguasa “si kaya” semakin mendistorsi nasip hak-hak si miskin.
Baca Selengkapnya di sini..

Kamis, 24 Maret 2011

MAHASISWA DAN PLAGIAT-ISME

Entah mengapa beberapa minggu ini aku begitu asyik dengan dunia jejaring Sosial FB-Twitter. Seperti ada semacam kegilaan yang meracuni kepalaku. Padahal menurutku tidak ada yang istimewa, lebih-lebih saat tak kutemukan keserasian diantara mereka yang benar-benar jujur atau sekedar berpura-pura. Posting-posting itu hanya keluhan keseharian atau sekedar menyapa. Bagaimana dengan anda sendiri..? Ada satu hal yang tak disadari kita telah terpengaruh oleh sederet kata yang kaku, cara itu pun kita ikuti tanpa ada satu seleksi yang mengedukasi. Pengaruh jejaring itu mengendap dalam bawah sadar penggunanya “dunia praktis penuh hipnotis”.

Murah, praktis dan dinamis itulah kecanggihan teknologi yang terus berinovasi, dan generasi tak perlu mengerti lebih menikmati dari pada berkreasi dan berinovasi. Kecanggihan yang dicapai para kreator teknologi memberikan ruang yang semakin komplek, satu yang dikedepankan memberikan kemudahan. Dan sekarang kita menikmati kemudahan itu.

Tak perlu bajet besar atau meluangkan waktu khusus untuk menemui atau mencari teman lama di dunia mini ini. Hanya dibutuhkan 5-10 m, kita bisa bertemu dengan teman atau orang-orang faforit kita. Namun Bah Google masih merajai, dan kuasanya tak terkalahkan. Simpel dan praktis, ya tinggal klik .... muncu lah apa yang kita cari.

Kita tak tahu mereka yang benar-benar jujur dengan mereka yang sekedar melacurkan diri. Sejauh ini kita masih belum bisa memaksimalkan kemajuan secara baik dan bertanggung jawab. Padahal banyak hal yang bisa dimanfaatkan dari kemajuan teknologi ini “kemudahan berkomonikasi”. Kita pun bisa mengasah pengetahuan, cara pandang, atau kepedulian terhadap sesama dengan seluas-luasnya.

Saya tak yakin dari sekian teman-kita yang sama-sama aktif memiliki kepedulian “klik tanda suka” atau berkomentar terhadap apa yang kita posting. Lalu-lalang posting di Twitter-FB begitu beragam, dari posting teman-teman itu memungkinkan kita untuk mengetahui karakter dan kepribadian melalui bahasa yang diungkapkan. Karena bahasa adalah isyarat terdalam, bahasa merupakan para meter sekaligus simbol dari yang meng-ujar-kan.

Coba diamati dari sekian banyak posting, mereka : “mengeluh, melo, sugesti, semangat, atau hal-hal diluar kewajaran”. Dan dari sekian posting itu atau catatan yang mereka buat tidak mencerminkan “ke-orisinil-an” suara hati “karya sendiri”. Dan saya membuktikan ternyata diantara mereka hanya copy paste dan tidak mencantumkan sumber aslinya. Naif bukan..?? ataukah ini hasil dari pendidikan kita.

Mungkin ini sudah jamannya “plagiator” copy paste, sejarah mecatatnya demikian. Ws. Rendra seorang terkenal dalam dunia sastra dan menjadi tokoh legendaris, tak bisa lepas dari stigma jelek “plagiator”. Baru-baru ini, Dadang Ari Murtono terbukti melakukan plagiat, Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon yang dimuat di Kompas, 30 Januari 2011, ternyata cerpen PLAGIAT dari cerpen berjudul RASHOMON karya Akutagawa Ryunosuke. Disertasi Karl Theodor zu Guttenberg yang membahas tentang konstitusi Uni Eropa juga terindikasi plagiat. Karl Theodor zu Guttenberg adalah mentri pertahanan Jerman.

Masalah plagiat tidak berhenti disitu saja. Di kampus pun hal itu menjadi satu yang lumrah, apa lagi dosennya tidak melek teknologi “gampang dikibuli”. Pendidikan yang mengajarkan kita jujur “menghargai karya orang lain” ternyata masih belum bisa kita diaplikasikan. Bagaimana dengan hasil skripsi yang dihasilkan anak negri tiap tahunnya, apakah bersih dari plagiat ? mungkin harus ada tim audit khusu untuk menyelidik hal itu. Ini sangat penting mengingat dosen dan calon doktor pun ternyata suka yang nama plagiat.

Bagi sebagian orang masalah copy paste “dalam kegiatan akademik” atau sekedar posting atau catatan di FB bukan persoalan yang krusial “dianggap lumrah”. Dan hal demikian dianggab satu kewajaran, “menjiblak” maka jangan salahkan bila negara tetangga “Malaysia” suka menjiblak budaya Indonesia “kitalah yang mengajari”. Kita memang lebih suka pada yang instan, “ada yang gampang mengapa cari yang sulit-sulit, itu namanya mempersulit diri...!!!”, sikap semacam itu yang menjadikan kita suka mengambil jalan pintas “copy paste”.

Ada beberapa alasan yang bisa saya sampaikan mengapa kebiasaan copy paste itu begitu bermasyarakat di kehidupan kita. Pertama tidak adanya rasa percaya diri pada diri sendiri. Kurang membaca. Kita dihantui rasa takut, takut dibilang tidak bisa menulis “tulisan jelek”, dll. Ketakutan itu kemudian memicu kita untuk mengambil jalan pintas “asal comod-copy-paste”. Kita mengabaikan sebuah peroses. Padahal peroses itu penting untuk mengantar kita pada sikap konsistensi, karakter diri.

Tidak ada manusia yang dilahirkan sempurna yang langsung bisa menghasilkan satu karya yang baik. Prammodya Ananta Toer yang tulisannya diterjemah di berbagai negara pernah diejek, “Wooo ini yang namanya Pram, kamu bukan nulis tapi berak”, setelah Pram dikatakan demikian seperti itu, apakah Pram berhenti menulis? Tidak Pram terus berkarya, bahkan Ia tak soal bangsanya tidak mengakui karya-nya. Namun generasi dan pemikiran Pram tetap mengalir pada generasi dan tak akan basi.

Dari itu janganlah takut karya kita dinilai jelek. Orang berkarya ibarat seorang anak. Seorang anak yang baru belajar berjalan ia akan belajar merangkak, jatuh adalah risiko bagi anak yang baru belajar berjalan. Namun kejatuhan itu tidak menghentikan si anak untuk terus mencoba belajar. Begitu pun dengan dengan belajar “berkarya” menulis. Pada saat-nya kita akan menemukan kematangan dan karakter kita.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui, karena saya sendiri juga masih belajar. Namun satu hal yang amat saya jauhi dalam peroses yang dilalui adalah plagiat. Maka ketika saya menemukan tulisan hasil plagiat, saya merasa miris. Lebih baik saya dikatakan jelek dan .... asalkan apa yang saya hasilkan murni dari sebuah proses “hasil karya sendiri.

Dan apabila saya tertarik dengan satu tulisan dan mengaharuskan saya mengambil tulisan itu, sumber asli tetap disertakan. Hal itu saya lakukan untuk menghargai karya “jerih payah penulis” orang. Saya melatih diri untuk jujur, semenjak saya bersentuhan dengan karya orang lain saya pun tidak lupa mengirimkan doa kepada penulis dengan harapan apa yang saya baca bermanfaat, sehingga saya dapat mengikuti jejak orang yang menghasilkan karya tersebut.
Baca Selengkapnya di sini..

Senin, 21 Maret 2011

MEWUJUDKAN PROPENSI MADURA


Apa Madura ?, Pertanyaan ini penting diajukan bersamaan dengan semangat orang-orang Madura untuk menegakan republik “Propensi Madura” sendiri. Bisakah Madura menjadi Propensi ?, Pertanyaan apakah Madura bisa menjadi Propensi bukan satu yang fakum, pernyataan tersebut merupakan evolusi yang lahir dari rahim zaman. Isu Madura jadi propinsi bukan satu hal yang tidak mungkin, karena undang-undang memberikan ruang untuk itu.

Sebelum kita bicara jauh apakah Madura bisa jadi Propensi, kita perlu mengenal apa itu Madura?, Madura adalah ke-satu-an daerah yang terdiri dari empat pemerintahan formal : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Ke-empat pemerintahan : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep ini berada di bawa induk “ibu kandungnya” Propensi Jawa Timur dan kesatuan Republik Indonesia.

Madura, tak banyak orang menyoal apa dan mengapa ke-empat residen ini dinamakan Madura. Dilihat dari asal kata-nya Madura konon berasal dari dua kata Madu dan Darah. Madu secara harfiah memiliki ciri manis, lembut dan memiliki stamina tinggi yang bermanfaat untuk berbagai macam penyakit, “Al-quran mengurai tentang hal itu”. Sedangkan Darah dilihat dari ciri dan warnanya, merah-berani dan darah menentukan tingkat kesetabilan “sehat” seseorang. Jadi Madura memiliki makna kelembutan, sopan, berani dan pantang menyerah.

Ciri Madura yang ber-kelembutan, sopan, dan pantang menyerah tidak hanya terurai dalam tataran teks. Kelembutan dan pantang menyerah dapat dilihat dari sikap keseharian orang Madura. Kesederhanaan dan pantang menyerah menjadi identitas orang Madura yang Universal.

Kesederhanaan, keuletan dan sikap pantang menyerah menjadikan orang Madura mampu bersaing di berbagai tempat dan kondisi di seluruh Republik ini. Orang Madura hampir menguasai sendi perekonomian dari Sabang-Meroke. Perlahan dan pasti orang Madura kini telah merambah pasar semua pasar, “tradisional-modern”. Sikap dan semangat orang Madura perlu ditularkan dan ditiru oleh generasi saat ini, dengan begitu Rebuplik ini akan terbangun kemandirian dan keberanian untuk memulai dan bersaing.

Stempel Madura keras kasar pada akhirnya terbantahkan saat dikolerasikan pada konteks dan peranannya dalam menumbuhkan perekonomian bangsa ini. Sebagaimana kita tahu prinsip pasar adalah melayani, mengayomi dan memberikan rasa puas kepada konsumen. Dan orang Madura berhasil menciptakan nilai-nilai universal baru di era digital ini.

Dukungan infrastruktur “Jembatan Suramadu” memudahkan langkah orang Madura untuk berada di garda depan dalam perekonomian. Orang Madura harus memaksimalkan potensi daerah dan menumbuhkembang rasa percaya diri. Jembatan-Sura-Madu. Jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura setidaknya membuka jalan dan peluang besar untuk orang Madura. Ya orang Madura harus menjadi tuan di bumi sendiri. Dan itu harus dipertahankan. Pemerintah, dalam hal ini Propesi Jawa Timur (menerapkan otonomi yang yang subtansi-bukan hanya lipstik saja) harus mengedepankan dan mengakomodasi kepentingan orang-orang Madura dari pada pemodal asing.
Mewujudkan Propensi Madura

Jemabatan Suramadu semakin membuka ruang dan harapan orang-orang Madura berdiri di atas kaki-nya sendiri. Madura menjadi Propensi, terpisah dari indukinya “Propensi Jawa Timur” merupakan keniscayaan yang bisa direalisasikan. Propensi Madura, Kenapa tidak. Undang-undang otonomi daerah memberikan kewenangan untuk itu.

Sejarah Aceh setidaknya bisa memberikan celah bagi kita untuk mewujudkan Madura yang independen dan berkemandirian. dibutuhkan ketegasan dan sikap berani dari segenap komponen “orang-orang Madura” untuk mewujudkan Madura yang mandiri, Madura sebagai Propensi. Tentunya dukudung dan kelegawaan pemerintah Propinsi Jawa Timur dan pusat.

Cita-cita orang Madura untuk berpisah dari Propensi Jawa Timur dan membentuk Propensi baru “Propensi Madura” merupakan hak otonom yang harus dihormati oleh pemangku kekuasaan. Orang-orang Madura berhak menentukan nasip dan daerah-nya sendiri. Menjadikan Madura sebagai Propensi mencairkan kebekuan dalam struktur pemerintaha. Langkah menjadikan Madura sebagai Propensi bisa mempercepat pertumbuhan dan pembangunan intfrastruktur yang selama terpusat di perkotaan.

Ada beberapa landasan mendasar mengapa Madura harus jadi Propensi :
1. Ketidak keadilan distribusi kekayaan Derah,
2. Lambannya pembangunan infrastruktur,
3. Mekanisme pembagian kekayaan daerah yang tidak menguntungkan Daerah.

Alasan mendukung Madura menjadi Propensi :
1. Mewujudkan dan memaksimalkan pendistribusian kekayaan daerah yang sebesar-besarnya untuk kemaslahatan penduduk di Daerah,
2. Mempercepat dan meratakan pembangunan infrastruktur,
3. Membuka lapangan kerja yang luas dan memanfaatkan secara maksimal dengan merangkul potensi anak Daerah.

Mewujudkan kawasan Madura sebagai Propensi tersendiri bukan sekedar wacana tanpa sebab. Kekayaan SDA yang ada di Madura merupakan satu hal yang penting, dan bisa dipergunakan semaksimal secara baik untuk kepentingan orang-orang Madura, dan hal itu bisa maksimal bila Madura menjadi Propensi sendiri. SDA di Madura, Gas dan Minyak Bumi (pertanian) merupakan kekayaan yang bisa dikelola dan dimaksimalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Madura.
Baca Selengkapnya di sini..

Minggu, 20 Maret 2011

JALAN-JALAN DI KOTA MALANG III

Yang jadi ikut jalan-jalan di pagi ini Sembilan orang anak. Aku sebentar termangu melihat teman-teman yang saling bergurau satu sama lain. Aku jadi teringat suatu “angka” 9 (sembilan)”, angka ini konon adalah angka yang paling tinggi, dan konon memiliki filosofi tersendiri, konon angka sembilan merupakan angka keberuntungan.
Walau aku sendiri tidak begitu percaya pada hal-hal seperti itu, aku jadi ingat perjuangan walisongo dalam menyiarkan agama. Disebut walisongo karena jumlahnya sembilan (9) orang. Tapi bukan berarti aku mensimbolkan kesembilan orang “teman-teman”, adalah wali, lagian kedelapan teman-teman dan sembilan dengan aku, itu kan campuran, antara cowok dan cewek, sementara wali-wali itu identik dengan laki.
Muncul satu pertanyaan kenapa wali identik dengan laki-laki. Dan sejarah mengkukuhkan semacam itu “laki-laki”. Monopoli. Ya sepertinya perjuangan penyebaran agama dimonopoli oleh laki-laki “walisongo” saja.


Tidak dan belum aku menemukan satu buku yang membahas pran perempuan atas jasa atau kebesaran walisongo. Sepertinya walisongo hidup terpisah dari perempuan dan sejarah membakukan hal itu. Benarkah walisongo hanya berperan sendiri “laki-laki” tanpa kehadiran seorang perempuan. Dalam sejarah peran perempuan atau istri para walisongo tidak dibahas. Yang diceritakan hanya peran kelaki-lakian “walisongo” saja.

Terlapas dari kepercayaan pada angka-angka dan tidak tampaknya peran perempuan dalam kontruksi sejarah walisongo. Yang jelas aku memiliki satu harapan yang amat besar, seperti yang pernah aku sampaikan kepada teman-teman waktu mengadakan rapat rencana jalan-jalan kamarin.

Perempuan-perempuan yang ada dalam rombongan ini saya anggap sebagai perempuan yang luarbiasa. Mereka telah mampu menanggalkan identitas kultur dan kekakuan sejarah. Dan laki-laki yang ada bersama kami, juga merupakan laki-laki yang amat menghargai kehadiran dan peran perempuan. Setidaknya ruang untuk berkibrtah telah tersedia bagi mereka para perempuan yang selama ini dikucilkan oleh adat dan kulturnya.
Jam menunjukkan pukul 06.00 semua kru telah berkumpul di depan BTN Uin Malang. Setelah itu salah satu dari kami memberhentikan angkot. Hilir mudik kendaran seakan tidak putus-putus, kendaraan terus dari arah yang berlawanan.

Mobil-mobi itu bergerak cepat. Asab hitam mengepul. Pagi menjadi tidak segar, karena udara telah terkontaminasi oleh polusi asab mobil. Anak-anak dan generasi harus berupa lebih keras untuk menciptakan lingkungan yang steril bersih dari polusi. Anugrah Tuhan telah kita nodai sendiri. Dan kita harus membayar hal itu dengan harga yang amat mahal.

Jaman memang disediakan seinstan mungkin. Jarak tempuh diperbendak. Waktu dimaksimalkan dengan kecepatan tegnologi. Namun perlahan dan pasti tegnologi telah memanggang kita dari berbagai arah. Kita menjadi manusia pengkonsumsi sejati. Kita tidak pernah mau berproduksi. “kalau kita bias beli ngapian kita susah-susah buat sendiri” ungkapan itu mengambarkan bahwa kita sangatlah instan. Kita tidak mau berperoses menciptakan hal baru. Kita lebih suka membeli dari pada menghasilkan untuk dibeli.

Waktu terus berjalan dari dalam angkot kita sulit melihat arah. Sementara di dalam angkot kami tidak banyak bicara. Hanya beberapa teman wanita yang bercakap intens. Saya sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka Nampak saling tersenyum, sementara yang cowok sesekali menyambung obrolan, sambil guyon gitu.

Ini menjadi perjalanan dan kemesraan yang paling indah dalam keluarga besar UAPM INOVASI. Dan setelah ini anak-anak sulit dikoordinasikan, mereka sibuk dengan kreatifitas perkuliahan di kampus. Seperti saya katakan di atas bawa rombongan ini merupakan orang-orang pilihan, yang kelak akan menjadi orang-orang besar. Amin.
Baca Selengkapnya di sini..

Rabu, 16 Maret 2011

JALAN-JALAN DI KOTA MALANG II

Suasana Ma'had Sunan Ampel masih sepi. Hanya ada beberapa anak yang lalu-lalang. Sebagian diantara mereka berlalri-lari keci “olah raga”. Sebagian terlihat memegang buku kecil. Semacam buku catatan. Kabut Nampak telah. Gunung yang biasanya terlihat dari halaman Ma'had tidak terlihat ditutup kabut.

Udara pun terasa beku. Dan dingin sekali. Aku pun terus berjalan melintasi orang-orang yang sedang lalu-lalang di sekitar Ma'had. Setelah berjalan bebera jurus kemudian aku bertemu dengan si Muhlasin, dia berjalan dari arah utara sedang bercanda dengan teman-teman. “Hei dodol dari mana, tak kirain udah ada di sana?”, aku sapa si Muhlasin.

“Aku dari teman, ayo cepetan”, ujar Muhlasin sambil guyu dan menarik tanganku.
Kami pun berjalan dengan agak cepat. Saat berpapasan dengan dua gadis “hai selamat pagi”, aku dan Muhlasin menyapa-nya. Sebenarnya aku menyapa gadis itu untuk menghidupkan suasana. Jujur aku malas melakukan perjalanan ini, tetapi sebagai tanggung jawab di keradaksian aku menjalaninya. Bukan berarti aku merasa tertekan atau keberatan dengan kegiatan yang baru di rintis ini. Justru menurut aku, ini merupakan suatu langkah baru untuk semakin mempererat ke-akraban diantara anggota. Dan ini merupakan suatu upaya bagi diri kusen diri untuk lebih mengenal Malang dan bagaimana cara melihat rialitas.

Tiba-tiba Muhlasin memecah suasana, “Di, itu bapakmu”, temanku yang aku yang aneh tiba-tiba ngomel, dan lebih lucunya meneurutku, dia menunjuk seorang laki-laki paru baya sedang membersihkan halaman rumahnya, menurut dia itu ayah aku, dasar teman yang aneh. “sin kamu ada-ada saja”, tegasku
“Tapi gak apa-apa sih dia jadi ayahku, dia itu Doktor Uin kaprok!!!”, tambahku. Memang laki-laki yang menyapu di halaman rumah itu merupakan salah satu doktor di Uin. Dia adalah Dr Junaidi dari Madura. Mungkin karena dia dari Madura kemudian temanku itu menisbatkan sebagai bapakku. Aku ingat ketika dia memberikan sambutan pada mahasiswa baru di SC. Saat itu dia memberikan kuliah umum “wawasan ke fakultasan”.

Kitapun terus berjalan, hilir mudik pejalan kaki saling berlawanan arah, sesekali kendaraan Motor melintas di samping kiri kita. Beberapa langkah kaki lagi aku akan lewat di depan rumahnya. Kira-kira dua meter dari jarak bapak yang sedang menyapu, pandangan aku tersita oleh sinar matahari pagi. Sungguh pagi yang indah sinar matahari yang menguak celah-celah awan. “Sinar Surya yang indah penuh rona”, Tiba-tiba kata-kata itu terlontar dengan sepontanitas. Bapak yang menyapu di halaman, menurutku sih bukan halaman tapi pagar. Dari balik pagar Dr. Junaidi tersenyum menatap kami. Mungkin dia mendengar ucapanku tadi, dengan ekpresi aku. Aku hanya membalas senyum itu, sambil merundukkan badan sebagai penghormatan.
“Sin aku ke sini”, aku berbelok ke selatan pas di samping rumah bapak Junaidi. “Kemana di sana ditutup”, temanku seraya mereunduk melihat ke selatan melihat jalan pintas di samping Masjid Tarbiah.

“Ya udah aku ada perlu”, aku tidak mengindahkan imbuhan teman. Muhlasin tetap mengikutiku. Sebenarnya aku tidak hendak lewat jalan lintas. Aku hanya ingin solat dulu di Masjid. Ya…. Aku hanya ingin solat dtuha. Sinar mata hari itu seakan menyuruhku untuk solat dulu. Sebenarnya semenjak aku meninggalkan Ma'had perasaan aku was-was, mungkin nanti aku bisa menghilang atau pisah dari kelompok untuk mencari Masjid terdekat untuk solat Duha.

Sungguh Allah seakan membukakan jalan dengan memperlihatkan sinar matahari, sinar itu menjadi petunjuk, bahwa waktu dtuha sudah masuk. Karena sinar matahari itu sudah lewat satu tombak. Jadi aku sempatkan dulu ke Masjid Tarbiayah untuk solat. Saat jalan-jalan aku tidak harus repot-repot mencari masjid untuk solat duha.

Setelah aku sampai di serambi masjid kemudian aku melepas sepatu, dan kaos kakiku. “Anjing…..”, teman aku mengumpat. Akupun tidak menghiraukan umpatan temanku itu. Karena itu sudah jadi kebiasan jelek… kata orang begitu. Tapi bagi itu sudah biasa jadi tidak ada efek apa pun.

“Aku solat dulu”, tegas aku pada temanku, kemudian dia balik dan meninggalkan aku.
“Bilang sama yang lain tunggu aku sebentar”, teriak aku pada Muhlasin yang terus berjalan meninggalkan Masjid.

Saat aku di Masjid aku melihat satu orang di dalam sedang memegang sebuah kitab Al-quran yang berukuran kecil, melutnya terlihat bergerak-gerak membaca teks-teks suci. Dan dari lantai atas terdengar sebuah diskusi, apa yang didiskusikan aku sendiri tidak tahu, mungkin acara rutinan. Aku tidak menghiraukan aktifitas yang ada di Masjid, Kemudian aku segera solat.

Usai solat seperti biasa memanjatkan Doa supaya Allah memudahkan dalam segala urusan. Setelah itu aku segera meninggalkan Masjid. Aku berjalan dengan setengah tergesa-gesa, karena aku tidak ingin teman-teman yang lain bosan menunggu aku. Situasi jalanan tidak begitu ramai seperti saat Mahasiswa balik dari PKPBA (Program Kegiatan Pengembangan Bahasa Arab) atau pulangnya. Hanya terlihat beberapa orang yang sedang jalan-jalan santai.

Beberapa langkah dari pintu gerbang, sebuah taksi melambai-lambaikan tangan sambil mulutnya bergerak-gerak memanggilku, aku menolak ajakan itu. Kemudian taksi itu pun melaju, lalulintas kendaraan di depan pintu gerbang Gajayana menuju Ma'had terlihat ramai. Aku terus berjalan nampak terlihat dari kejauhan teman-teman sudah kumpul menunggu. Sekitar tiga menit akupun sudah bergabung dengan mereka.

Kemudian salah satu di antara sembilan teman-teman itu kemudian memberhentikan Taksi AL. “Mas Roli dak ikut ta”, Tanya aku pada teman-teman.

“Dia tidak bisa ikut karena sibuk”, sambung bak Lilik yang sedang mengendong tas kamera. Bak Lilik memang sangat dekat dengan mas Roli. Dengar-dengar “isu” sih dia akan segera menikah dengan Roli, ya mungkin Cuma nunggu sekripsinya selesai.
“Yang lain mana di”, Tanya bak Lilik padaku.

“Dak tau jug saya udah SMS si Adil”, Ya… semalam aku sempat ngasi tahu sama Adil bahwa UKM INOVASI ada acara jalan-jalan sambil hanting foto. Memang seharusnya kalau hadir semua, teman seangkatanku saja 20 orang, tapi yang aktif hadir ke UKM Cuma yang itu-itu saja. Yang hadir ikut dalam acara jalan-jalan teman-teman seangkatanku, MU (Maria Ulfa), Fitri, Yesi, Muhlasin, dan aku sendiri, yang lainnya adalah anggota senior, Junika, Lilik, As'ad, dan A'yun. Yang ikut dalam acara jalan-jalan itu sebanyak sembilan (9) orang.
Baca Selengkapnya di sini..

Selasa, 15 Maret 2011

TSUNAMI

Sebuah bumi rebah tenggelam

Air menggelepar menyambar setiap yang disapanya

Tangis akhir-mengakhiri

Bumi tak lagi mentasbih-kan hidup

Bumi memanggang maut

Air menyuburkan jalan beraspal



Tsumani



Lompatan kisah menyudahi hidup

Getir, tapi mata tak jua berkedip

Air yang sering menyucikan cipta

Memindah daratan hidup kerelung laut

Di pesisir itu berarak segala bekas

Menyudai kegunaan-nya



Malang, 12 Maret 2011
Baca Selengkapnya di sini..

Minggu, 13 Maret 2011

POLITIK

Kekuasaan harus direbut

Ulamak, teknokrat pada ribut

Kearifan mulai tercabut

Korupsi merambat tak terusut


Informasi jadi polusi

Segala segi dieksploitasi

Kemiskinan jadi komoditi

Orang miskin tetap kurang gisi


Elit makin carut marut

Kerjanya menyoal isi perut

Tak soal perilaku tak patut

Sikut menyikut jadi kebiasaan akut


Malang 13 Maret 2011
Baca Selengkapnya di sini..

JALAN-JALAN DI KOTA MALANG I

Minggu 02/03/2008 pagi masih berselimut mendung. Udara dingin mendirikan bulu kulit. Aku dikejutkan dengan bunyi Hemphon (HP) “Nininit… Nininit ….. Nininit 3x”, aku tidak begitu memperdulikannya. “siapa pagi-pagi begini miscol”, seruku agak malas. Sementara aku masih dalam keadaan antara sadar dan tidak tidur.

Dengan rasa malas aku cari sumber bunyi HP. Beberapa saat aku sudah pegang HP-ku. Kebetulan HP aku taruh di pinggir lesehan ranjang tempat tidur. Tepat d sebelah kiri. Setelah aku buka R. Junika “oh Tuha……an, hari ini kan mau jalan”, seruku dalam hati. Aku baru ingat bahwa kemarin ada kesepakatan semua kru UAPM Inovasi akan jalan-jalan di sekitar Kota Malang. Kesepakatan dengan teman-teman kemarin, jam 05.30 sudah berkumpul di BTN di depan Uin Maliki Ibrahim Malang.

“Sin bangun, dasar si dodol tidur terus, ni udah dimiscol sama Junik”, aku coba membangunkan teman satu organisasi. Junika adalah koordinator untuk memandu dalam perjalanan hari ini. Dia juga yang menetapkan waktu 05.30 harus kumpul di BC “BTN”. Dan usulan itu pun disetujui oleh seluruh yang hadir pada saat rapat waktu itu.
Muhlasin yang sulit dibangunkan belum juga bangun dari tidurnya. Wajahnya Nampak kusam. Bekas air liur masih terlihat membasahi pipi-kanan-nya. Bantal yang dipakai pun terlihat membentuk lingkaran “peta”. Aku coba terus membangunkan si Muhlasin. Aku panggil dan setengah teriak tetapi tetap saja si Muhlasin tidak bangun-bangun juga. Muhlasin tetap tiarap tidur. Aku tarik kakinya “bangun dodol sudah hampir jam enam (6)”, kemudian dia baru bangun, dia telungkup kemudian tidur lagi. Sudah kebiasaan tidur pagi

“Woi !!! udah siang dodol”,
“Jam berapa sih”, Muhlasin menayakan waktu suara masih rada-rada serak.
“Jam 6”, tegasku.

“Aku mandi dulu, ini kepagian”, Muhlasin perlahan bangun dari tempat tidur, dengan langkah lemas dia berjalan, sesaat tangannya mengambil gayung di atas lemari, kemudian menyelinap menghilang di balik pintu menuju ke kamar andi. Hp ku bunyi lagi. Aku raih dari samping rangjang, kemudian aku tulis SMS “Tunggu dulu sebentar ni baru bangun tidur, mau mandi dulu”, setelah SMS lalu aku bergegas menuju kamar mandi. Muhlasin sudah selesai mandi.
“anak-anak kumpul di mana?”,
“Di BC”, kataku.

“BC itu di mana ? di pangung itu ta”, Muhlasin menanyakan anak kumpul.
“Dasar dodol, BC itu di BTN do……….ool”, seru aku sambil ketawa, masa tidak tau BC.
“Aku berangkat duluan akan kubilang kumu belum bangun sama junik”, Muhlasin terkikik sambil berjalan memegang tas yang terlihat budek alias kotor, ya… memang terlihat karena tidak pernah dicuci, kalau dihinggapi lalat mungkin akan mati keracunan.

Setelah Muhlasin berangkat, kini di kamar Cuma tinggal aku dan kedua temanku Naseh dan Oxi. Oxi masih tidur di atas rangjang, aku coba membangunkannya beberapa kali tapi tetap saja, Cuma sesaat menguap lalu tidur lagi. Ya mungkin dia payah setelah hampir semalaman suntuk main Game.

Oxi masuk kamar kira-kira jam 02.30 pagi. Sebulum tidur si Oxi sempat ngerjain teman-temanya. Dia miscol teman-teman ceweknya. “Gus kan bangunin orang dapat pahala juga”, tutur oxi sambil tertawa kecil.

“Ya mungkin saja”, aku jawab dengan nada cuek. dia terus ngejain teman-temannya, sesekali dia bicara sendiri. “ayo bangun dulu”, seru Oxi dia ngomong sendiri. Aku Cuma memperhatikan tingkah lakunya. Waktu pada saat itu udah menunjukkan pukul 03.00. pagi aku tutup buku yang aku baca. Kemudian bergegas untuk solat tahajjud. Ya aku coba untuk mendekantkan diri pada sang pencipta dengan cara solat malam Insaya Allah Tuhan akan memberikan solusi pada persoalan yang kuhadapi.

Pagi terus beranjak, matahari belum juga menampakkan sinar. Kabut bersela mendung menghantar udara yang dingin. Pagi ini memang dingin sekali. Keadaan dingin seperti ini memang enak untuk tidur. Namun kata orang tua, tidur di waktu pagi tidak baik. Konon kalau tidur di waktu pagi akan menjauhan dari rejeki. Petuah orang tua dulu ini bukan tidak diketahui oleh teman-teman yang masih enak tidur, mereka semua tahu, tapi ya tetap juga terbiasa tidur di waktu pagi.

Naseh terlihat sedang memainkan HP-nya. Dia duduk sambil menyalipkan kakinya. “Kamu tidak ikut jalan-jalan”, tegur aku pada Naseh yang sedang meng-otak atik HP-nya. Sesaat kemudian dia menggeliat “Aku tidak bisa ikut karena sekarang ada ujian pemograman Java, dua kelas sekaligus sekarang digabung”, ungkap Nasih sambil tetap meng-otak-atik hp-nya

“ya gak apa-apa”, lanjut aku.

Aku kemudian kebelakang ke kamar mandi. Waktu sudah menunjukkan 05.55. pagi.
Setelah selesai mandi aku mempersiapkan segala kebutuhan, buku catatan, bulpen, dan dua buku bacaan. Untuk meyakinkan sudah tidak ada yang tertinggal, aku periksa tas yang akan kubawa. Kemudian aku segera berangkat sambil berlari-lari kecil menuruni tangga. “Kok terburu-buru” salah seorang santri menyapaku, aku tidak begitu jelas siapa yang menyapaku “ya ni ada kepentingan dikit” jawabku dengan singkat.
Baca Selengkapnya di sini..

Sabtu, 12 Maret 2011

PEMISKINAN OLEH PENGUASA

Pagi itu udara berhembus perlahan, para pejalan kaki sibuk menata pakaian dan rambutnya yang terurai disibak angin dirapikan kembali. Seorang anak SD dengan baju lusuh berjalan menyelusuri keramaian kendaraan. Dia tidak sekolah seperti anak-anak pada umumnya. Dia harus menghidupi diri dan ibunya, dengan meminta-minta di jalan. Tangan kanannya nampak memegang bekas bungkus permen RELAXA.

Wajah anak itu terlihat penuh dengan kotoran hitam. Rambutnya acak tak teratur. Dia selalu manadahkan tangan pada tiap orang yang dijumpainya sepanjang jalan. Orang yang merasa hiba melihat kondisinya memberikan satu receh (seratus rupiah). Namun tidak sedikit yang acuh, dengan keberadaan anak jalanan seperti dia.

Banyak orang yang sama sekali tidak menghiraukan keberadaan anak jalanan. Ya itu adalah potret dari anak negeri ini, sekaligus cerminan dari perilaku pemimpin bangsanya. Sementara matahari di ufuk timur masih enggan menyapa mahluknya, biasanya pukul, 07.00 matahri telah jelas menebar sinar keseantero jagat raya, tapi tidak untuk pagi ini, mendung menutupinya, sisa kabut masih terlihat membasahi rumput di jalan.

Anak itu berjalan melawan kerasnya jalanan “kenapa adik mengemis” orang dipinggir jalan itu mananyai anak itu.
“buat makan”
Anak itu menjawab dengan singkat tapi penuh dengan untaian makna. Buat makan, ya demi sesuap nasi dia merelakan harga diri, membuang masa kanak-kanak yang indah. Tak seharusnya seusianya bergelut dengan nasip seperti itu.
“Kenapa adik tidak sekolah”
“tidak punya biaya”

Ya…… Tuhaaaan, anak sekecil ini harus berpontang-panting mengais rezeki hanya untuk makan. Tentu untuk sekolah ia tak punya uang. Lalu bagaimana nasip dan masa depan anak ini kelak, bukankah pemerintah telah mencanangkan pendidikan gratis, tapi mengapa anak ini harus terlantar di jalanan hanya karena sesuap nasi. Sungguh ironis, ini merupakan korban dari sistem pemerintahan negri ini. Anak ini adalah korban dari keculasan mereka.

Untung mereka hidup di Malang, mereka masih bisa mengais rezeki dari pejalan kaki dsbg. Coba saja anak ini ada di Jogya, mungkin dia akan ditangkap karena telah melanggar UU tentang ketertiban umum. Ya orang miskin semakin tidak memiliki ruang akses yang nyaman, lantaran aparuturnya selalu memihak pada kaum pemuda. Dan yang miskin ditendang ke embong.

Aku hanya menatap dalam-dalam wajah anak itu. Dia juga menatapku. Dari air mukanya seakan dia berbicara panjang tentang nasip yang ia jalani.

“Ini Adik duduk dulu di sini” aku mengajak dia duduk. Kemudian aku membelikan sebungkus nasi yang baru saja aku beli dari penjual yang melintas di depanku. Anak itu pun duduk di trotoar jalan samping kanan. Di tembok terdapat sebuah tulisan, “Kawasan Bebas PKL” ini adalah deretan sejarah kelam orang yang tak mampu. PKL (Pedagang Kaki Lima) dengan modal yang amat kecil, mereka mencoba mengais hidup di pinggir jalan, akan tetapi mereka pada akhirnya menyerah pada kebijakan pemerintah, dengan adanya pelarangan tersebut.

Orang-orang miskin semakin terbuang, mereka tidak diakui oleh bangsanya sendiri, jangankan pengakuan diberikan kesempatan memanjangkan hidup pun tidak dimilikinya. Lain dengan orang-orang yang telah mapan mereka dihormati mereka disediakan tempat strategis, sementara orang miskin hanya bisa menatap lata terhadap apa yang mereka hadapi dan rasakan.

Sementara anak jalanan di sampingku tengah asyik melahap makanan, yang barusan aku beli dari penjajah makanan. Anak ini begitu bersemangatnya makan, aku hanya memperhatikan penuh iba. Aku merasa bangga bisa membelikan makan. Tak terasa air mata tidak bisa kubendung. Dengan segera aku hapus, kebetulan saat itu aku membawa Tisu, memang aku tidak terbiasa membawa barang semacam ini. Oh iya aku lupa tidak membeli air minum.

“entar dulu adik jangan kemanan-mana tunggu di sini dulu” kemudian aku meninggalkan anak itu, hari itu sungguh membawa kesan yang berarti bagi aku, entah karena apa. Sebentar kemudian aku kembali dengan membawa air.

“kakak baik sekali” kata-katanya begitu tulus menyentuh hati. Tuhan kenapa anak seusianya harus menanggung nasip seperti ini. Andai saja aku diberi kemampuan lebih aku akan menampung anak-anak terlantar seperti ini. Tapi aku sendiri juga, masih bergelut dengan segala beban yang tidak juga aku bisa lampauwi sampai saat ini. Tapi aku merasa bahagia melihat cara dia makan dan segala ketulusannya. Tidak seperti para elit politik yang hanya bisa bisa memoles kata dan janji-janji palsu.
“adik tahu siapa presiden Indonesia saat ini”
“….ya iyalah… lah kak”
“….Siapa”
“….Bapak Susilo Bambang Yudoyono”
“….Wakilnya”
“….Bapak Budiono”
Dengan antusisme dan penuh bangga anak itu menjawab pertanyaan yang aku berikan. Dia sangat mengenal orang nomor satu negri ini. Bahkan saat aku tanya ciri-cirinya pun dia begitu detail memaparkannya. Dengan logat yang khas kekanak-kanakan dia menyebut SBY dengan kepanjangannya tidak dengan panggilan yang kerap diberikan oleh banyak orang dan media dengan menyebut SBY. Begitu pula saat aku tanya wakilnya. Mungkinkah orang yang dia sebut rasa bangga akan bangga melihatnya, atau malah sebaliknya.

Orang kecil (miskin) tidak pernah sedikit pun, untuk tidak mengakui kebesaran para pemimpinnya. Tapi mengapa mereka sering dikesampingkan bahkan terkesan dimarjinalkan. Mereka tidak pernah mendapat akses yang sama, mereka tidak pernah memperoleh keadilan lantaran kemiskinannya.

Pengakuan orang miskin tidak pernah mendapat hati di hati para pemimpinnya. Mungkin meraka atau sekedar berpura-pura lupa, saat mereka belum menjadi pemimpin negri ini, mereka berdalih untuk mengubah nasip mereka lebih baik dari apa yang mereka jalani saat itu. Tapi kenyataannya kini mereka hanya bisa berharap tanpa balas. Kehidupan mendesak dan terus menyeret mereka pada keterpurukan. Mereka menjadi korban permaianan pemimpinnya.

Pak SBY itu kah potret pemimpin kita?

Mengobral janji dan mengbaikannya
Kenapa harus rakyat kecil yang menjadi tumbal
Tidakkah cukup penderitaan yang mereka alami
Mengapa juga mereka harus terusir dari negerinya sendiri
Lantas sebenarnya kesejahteraan apa pada siapa
Kenapa merak tetap berbalur dengan nasip yang tak terperi.

Kenapa mendung pagi ini, belum juga tersingkap, apakah ini merupakan sebuah amsal dari para pemimpin negri ini yang selamanya tidak akan bisa memberikan pencerahan pada mereka yang miskin.

Kehidupan dan penataan kota hanya untuk menyingkirkan orang kecil, alangkah ironi ini dilakukan oleh para pemimpin yang dulu mengumbarjanji kesejahteran pada rakyatnya, tapi apa yang terjadi. Kesejahteraan tidak pernah tercapai penderitaan justru seminkin jelas.

Udara yang dulu bersih kini telah ternoda oleh polusi, yang menanggung rakyat kecil sementara para pengendara mobil penebar folusi asyik di ruang bearasi.
Baca Selengkapnya di sini..

Jumat, 11 Maret 2011

PEREMPUAN DALAM KUNGKUNGAN TRADISI

Tradisi kerajaan 'keraton' masih kuat berakar dalam kultur dan adat pergaulan masyarakat. Ketatnya budaya keraton itu dapat dilihat dengan penanaman /cara-cara bergaul dan bertutur sapa antar yang lebih muda kepada yang tua, orang jelata dan orang yang memiliki kedudukan. Seorang wanita dan laki-laki. Dalam kultur keraton seorang wanita terminabobokan oleh tata ke-keraton-an, wanita tidak boleh berkata dengan nada tinggi “keras”. Menjaga penampilan. Hormat dan taat pada suami merupakan satu hal yang tidak dapat dibantah. Apa bila ada wanita yang melawan dan tidak taat pada suami maka ia akan diklaim sebagai perempuan pembangkang dan amoral.


Selain itu legitimasi agama “islam” ikut mendominasi dan dijadikan legitimasi laki-laki dalam memperlakukan wanita sebagai budak 'robot'. Wanita harus “penurut” menuruti apa yang dikehendaki suami---nya. Kultur keraton semakin terbumikan lewat ajaran di berbagai pesantren. Sistem ke-keraton-an di pesantren amat kental, jarak antara guru-santri (prilaku, perkataan, pergaulan, dan bersosialisasi) dijaga dengan ketat. Aturan itu menjadi hukum kesepakatan yang tidak tertulis. Itulah beberapa hal yang menjadi sejarah hitam atas penindasan terhadap perempuan.

Bagaimana ibu menjalani kesehariannya. Apakah ibu menjadi orang yang taat menjalankan tradisi seperti disebutkan di atas atau justru sama sekali mengabaikannya. Ibu memang buta huruf, itu terjadi karena semasa hidupnya tidak pernah sekolah. Namun begitu ibu banyak tahu soal tradisi yang dijunjung dijamannya. Namun tidak semua tradisi diikuti oleh ibu, bahkan Ibu acuh terhadap beberapa system kultur yang ada. Tapi tidak semua Ibu abaikan.

Ketika hendak bersosialisasi dengan sistem maka mau tidak mau kita harus tetap mengikuti kultur yang ada. Begitupun yang ibu lakukan saat itu. Di dalam membangun rumah tangga ibu harus membuang sebagian adat yang membelenggunya. Dengan segenap asanya ibu bisa membuktikan bahwa wanita juga mampu melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki, menurut Ibu “wanita itu bisa mengerjakan apa yang dikerjakan laki-laki, tapi tidak dengan laki-laki yang bisa mengantikan peran seorang istri”.

Tekanan dan kekerasan yang Ibu alami dalam keluarga menuntutnya untuk bangkit turut bekerja membantingtulang seperti dilakukan laki-laki. Menurut Ibu jika wanita bekerja maka laki-laki 'suami' tidak akan semena-mena terhadap istrinya. Ayah yang sering memperlakukan kasar---memukul Ibu lantaran tidak bekerja tidak dapat dibenarkan.

Memang Ayah tidak sabaran (emosional). Ketika Ayah kalap sering tangannya yang bicara. Entah berapa kali aku dipukul karena dianggap salah, seperti bermain lupa waktu. Di mata teman-teman Ayah dikenal sebagai orang yang keras dan suka ringan tangan pada anaknya. Pernah ketika aku sedang asyik bermain bersama teman-teman di tetangga, aku dipanggil dengan suara tinggi. “Cepet kamu pulang nanti kamu dipukul” ungkap tetangga, Aku pun langsung bergegas pulang, tiba-tiba Ayah telah ada di sampingku dan langsung memukul.

melihat aku dipukul tetangga bilang ”kamu kok galak banget sama anak kamu sendiri, sepertinya dia bukan anakmu saja” tetangga mencela sikap Ayah yang sering ringan tangan. Mungkin tetangga tidak tega melihatku dipukul. Tapi hal itu tidak membuat Ayah berhenti memukul. Justru Ayah semakin beringas memukul. “ia sekarang sudah ada yang memanjakanmu, kau mau jadi apa cuma main saja” serapah Ayah sambil memukul dan mendorong tubuh aku. aku hanya menangis, ya menangis sejadi-jadinya.

Sesampai di rumah Ibu bukannya membelaku tapi justru membela Ayah dan menyalahkan lantaran bermain lupa waktu. Pemukulan yang dilakukan Ayah terhadapku tidak terhitung berapa kali, setiap sedikit saja melakukan kesalahan maka yang bicara adalah tangan. Yang membuatku terpukul dan merasa tidak enak adalah ketika aku tengah bermain Ayah marahiku juga pada teman-teman sepermainanku.

Perlakuan kasar Ayah kepadaku juga pada teman-teman (membentak---memarahi saat bermain) membuat aku sungkan dengan teman-teman sepermainan. Padahal usia 4-6 tahun merupakan tahap belajar anak untuk mengenal satu sama lain, termasuk masa kanak-kanak kala itu. Bermain merupakan kesenangan yang tidak ternilai. Karena pada saat bermain itu kita sebagai anak bisa beraktualisasi. Namun sikap protektif Ayah telah menjadi momok padaku juga teman-teman, sehingga aku sering termarginalkan dalam pergaulan. Teman-teman lebih memilih menghindariku dengan alasan takut dimarahi Ayah.

Perlakuan kasar Ayah tidak hanya dilakukan pada aku, Ibu-pun kerap menjadi sarang kemarahan dan sering mendapat hadiah pukulan. Pernah Ayah memukul Ibu hingga wajah Ibu babak belur. Aku tidak atau bagaimana persisnya peristiwa pemukulan itu terjadi. Sepulang dari ngaji Ibu hanya terlihat menangis dan muka merah dan terlihat plek hitak dipi-pi kiri dan dagunya akibat hantaman keras.

Namun kemudian Aku tahu peristiwa yang sebenarnya dari tetangga bahwa Ibu baru saja bertengkar dengan Ayah. Perselisihan yang berujung pada kekerasan fisik sering Ayah lakukan pada Ibu dan itu tidak hanya sekali terjadi, bahkan Ibu sempat pisah rumah setengah tahun lantaran tidak kuat dengan perlakukan kasarnya. Kemudian Ayah dan Ibu hidup bersama lagi setelah ada kometmen untuk tidak mengulang dan melakukan kekerasan fisik lagi.
Baca Selengkapnya di sini..

Kamis, 10 Maret 2011

ANTARA AKU DAN JERITAN HATI IBU


“jalan hidup yang kulalui bersama keluarga penuh dengan duka, kebahagian dan Kemewahan hidup, nyaris tidak pernah aku rasakan. Peristiwa demi peristiwa datang silih berganti menyesakkan jiwa”.

“Hidup adalah ladang untuk menuai harapan dan kebahagian”, seperti diungkapkan banyak orang. Namun ungkapan itu seakan menelanjangi keberadaanku yang senantiasa bergelimang kesusahan dan penderitaan. Sebenarnya keberadaan ini bukan atas kemauanku, namun aku juga tidak bisa menolaknya. Mungkinkah ini kutukan ? lalu kutukan atas dosa apa…?

Hari-hari kulalui dengan sikap sendu. Perjalanan hidup seperti pincang. Aku lebih banyak melamun. Kala dalam kesendirian aku larut dalam lamunan, “bagaimana dan ke manakah arah hidup”, tiba-tiba wajah kedua orang tua melintas dalam benak. Tanpa kusadari air mata menetes. “Sampai kapan hamba hidup seperti ini, hamba juga ingin hidup layak seperti mereka”. Aku hanya bisa berseru pada diri sendiri.

Bercak basah air mata di ke dua pipi terasa mengganggu. Kemudian aku membalut air mata di kedua pi-piku dengan kain sarung”. Setelah kulihat jam di handphon ternyata sudah menunjukkan pukul 21.30, saat itu.

Cuplikan kisah di atas merupakan akumulasi dari lika-liku hidup yang ku-lalui. Mungkin orang mengira aku ingkar terhadap nikmat Tuhan. Seperti orang bilang hidup itu anugrah, dan Tuhan telah anugrahkan hidup kepadaku (setiap ummat), tapi mengapa hidupku begitu beda jauh dari pada orang umumnya?.

Aku ingin hidup bahagia, namun kenyataan berkata lain. Penderitaan-demi penderitaan datang bertubi, tak hanya pada tapi juga keluarga. Ini adalah kenyataan yang harus aku katakan, sekaligus sebagai wujud terimakasih kepada (Ibu, Ayah, saudara beserta teman-teman yang tidak dapat kusebut satu persatu) karena mereka aku bisa mengenal hidup dan mampu bertahan sampai saat ini.

Penderitaan telah mewarnai kehidupan keluarga semenjak aku dalam kandungan. Berjalannya waktu mengantarkan aku pada satu titik yaitu kehidupan saat aku dilahirkan. Maka semenjak dilahirkan ke dunia ini aku mulai belajar mengenal kultur budaya lebih-lebih di linggukan keluarga. Pergaulan sehari-hariku dengan teman (lingkungan) kemudian membuka mata, bahwa kehidupan keluarga sangat pahit (menderita).

Penderitaan ini seperti warisan yang tidak bisa aku tolak. Dan aku pun harus belajar dan mempejari setiap kenyataan yang kujalani untuk menapaki hidup ke depan. Kenapa aku mengatakan demikian “aku dibesarkan dalam keluarga yang serba berkekuranagan, namun mereka memilki satu I'tikat yang sangat dinamis yang terlampaui……..”.

Sautu hari Ibu bercerita padaku “….. na….ak saat mengandungmu Ibu tetap membanting tulang bekerja membantu Ayah--mu. Maka meski mengandungmu Ibu tetap bekerja. , itu-pun masih tidak cocok pada Ayah kamu”. Ibu menceritakan kisah pahit itu padaku. Aku tidak tahu mengapa ibu ceritakan itu padaku.
Kemudian Ibu melanjutkan ceritanya “….. Para tetangga bilang jangan bekerja yang berat-berat kasihan pada kandunganmu, tapi Ibu tidak mendengarkan perkataan mereka, Ibu tetap berupaya sebisa Ibu”. Betapa berat perjuangan Ibu, ia harus membantingtulang disaat-saat mengandung. Memang ayah selalu marah, apa yang dilakukan ibu selalu salah. Bahkan satu saat ibu memilih pisah dengan Ayah. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Belum sempat satu tahun rujuk kembali.

Padahal aku tahu ibu menderita sekali oleh sikap keras ayah. Karena satu kesalahan kecil ayah kemudian memukul Ibu, dan itu sering dilakukan oleh Ayah pada ibu.

“Kamu tahu bila Ayah-mu datang dari kerja tidak sabaran, marah-marah dan Ibu jadi sasaran kemarahannya. Saat usia kandungan Ibu sudah tua (delapan bulanan lebih) Ibu mengambil air di sumur yang jaraknya 160 m, Ibu dirasani (dibilang) sama Nyi--Munaiya, ia bilang 'nak kenapa kamu masih ambil air sendiri mengapa tidak menyuruh suamimu', Ibu hanya bilang ngak-, apa-apa. Pada saat itu Ayahmu baru datang kerja, karena di rumah tidak ada air ayahmu marah-marah pada Ibu. Meskipun Ibu dalam keadaan hamil tua tetap ambil air ke Sumur. Semoga sikap Ayahmu tidak menurun sama kamu dan semoga kamu tidak menderita seperti Ibu.

Kemudian Ibu berpesan padaku. “….Kelak apa bila kamu berkeluarga dan istrimu hamil janganlah kau marah-marah pada istrimu seperti Ayahmu lakukan pada Ibu. Seorang wanita yang hamil membawa beban yang berat jangan kau tambah lagi beban itu. Katanya seorang istri itu tidak boleh diperas atau diperlakukan tidak baik (diperintah untuk bekerja) namun Ibu tidak hiraukan itu, ibu bekerja untuk membantu meringankan beban ayahmu. Namun sikap Ayahmu yang tempramin dan sering marah-marah jika Ibu tidak bekerja”.

Perjalanan pahit Ibu diceritakan tepat ketika aku berada dalam pelukannya, aku hanya diam, tidak bisa berkomentar apa pun. Aku terkesiap mendengar cerita Ibu, ternyata sikap Ayah yang egois dan selalu ingin menang sendiri sudah berjalan jauh sebelum aku mengenal hidup dan arti hidup. Perjuangan Ibu dan doa-doanya akan selalu aku ingat sepanjang hayatku. Aku harus bisa menjalankan amanat Ibu pada istriku kelak, dan pada lingkungan. “wanita harus diberi ruang ekspresi, ia bukan mahluk nomor dua yang harus didekti untuk melakukan ini dan itu, ia pun bukan perhiasan yang sewaktu dapat dipergunakan 'memuaskan seksual kehidupan' dan diabaikan hak-haknya di sisi lain”.

Bagiku Ibu adalah seorang reformes ia dapat melampaui zamannya. Dengan tekat dan kesederhanaan Ibu mampu menerjang segala sekat, wanita yang identik hanya di rumah dan tidak boleh bekerja berat--kasar, pelayan suami, tidak berlaku pada Ibu. Ya ibu bisa lakukan hal yang jarang dilakukan orang lain. Lihat saja saat hamil ibu tetap bekerja. Ibu tidak menunjukkan dengan sikap tapi tindakan “mungubah presipsi : wanita lemah”.

Bagiku Ibu adalah seorang gender sekaligus feminis sejati. Ya bagiku Ibu adalah sosok gender sejati karena dia mampu mengenyampingkan pandangan umum (wanita lemah) berdiri tegak dengan segala kesederhanaannya Ia mampu tunjukkan bahwa wanita juga bisa bekerja tidak kalah dengan laki-laki.

Kalau seorang laki-laki mengambil air dari sumur dengan epekol (diangkat dengan bahu dibawa dengan grobak). Ibu juga bisa lakukan hal itu, bahkan dalam keadaan hamil besar Ibu mengambil air dengan bakul tanpa harus meninggalkan kodratya sebagai istri. Kalau seorang wanita pada saat ini terus melakukan pergerakan untuk mendapat pengakuan 'persamaan hak' sebenarnya pergerakan ini bukan hal yang baru dan tabu, ibu telah melakukan sebelum aku mengenal kata itu.
Baca Selengkapnya di sini..

Senin, 07 Maret 2011

Keterisolasian Perempuan

Saat ini banyak perempuan yang terjebak dalam pengkatagorian dan pelabelan sosial “cantik, seksi, baik, buruk, sopan dan tidak sopan ” dan beberapa pengkagorian lain. Simbol / tanda itu mengendap dibalik kesadaran seorang perempuan, hal itu berakibat pada ketidak sadaran mereka.

Sementara konsepsi kecantikan lahir dari ketidak sadaran mereka ? konsep kecantikan bukan lahir utuh dari perempuan, itu hanya pengkatagorin “produk kapital” yang sengaja dirumuskan secara terperinci dalam diri perempuan itu sendiri. Kita akan mengaji lebih jauh dari sudut pandang perempuan dalam interpase laki-laki “penulis” hal ini dimaksudkan akan tercipta suatu keseimbangan yang lebih konprehensif.

Terlepas adanya sebuah subjektifitas penulis sendiri. Penulis harus memberikan sebuah diskursus sederhana terhadap diri / keberadaan perempuan itu sendiri. “cantik” merupakan labil sosial yang sengaja diberikan kepada perempuan, dan sayangnya hal itu diterima tanpa adanya penolakan apa pun. Di sini lah keterjebakan perempuan. Siapa yang tak suka pelabelan sosial “cantik” yang selalu dinegasikan pada perempuan.

Namun dalam pandangan saya label kecantikan yang dilekatkan dengan perempuan hanyalah tipuan dan penuh kepalsuan. Mengapa penulis berpendapat demikian, karena menurut pandangan penulis cantik bukanlah sifat perempuan. Cantik adalah produksi-label sosial (menipu) yang menipu perempuan itu sendiri.

Label sosial “cantik” secara tidak langsung akan memasung eksistensi perempuan, karena pada dasarnya padanan / lawan kata cantik (cantik-jelek). Ketika kecantikan perempuan telah dirumuskan maka akan lahir ketimpangan pada perempuan, (ada perempuan cantik dan ada perempuan jelek). Kontra diksi semacam (cantik-jelek) tidak akan pernah ada jika tidak ada perumusan terhadap kecantikan, dengan begitu tidak terjadi ketimpangan pada perempuan.

Sementara kalau kita cermati produk “cantik” lahir dari para kapital melalui parodaks mereka, di mana dalam penyajian produk perempuan dijadikan subjek. Perempuan ditampilkan sebagai sosok “figur” dengan disertai perodak yang dihasilkan oleh kapital, misal orang cantik dalam pendifinisian para pemodal ialah berkulit putih (sedang untuk memiliki kulit putih harus memakai produk tertentu), tubuh tinggi, berambut lurus dll.

Itulah kecantikan dalam fersi produk kapital, yang telah dirumuskan secara terperinci dalam pengkondisian sosial lewat perodak mereka. perumusan kecantikan adalah penuh penipuan dan bukan milik perempuan yang seutuhnya, itu hanya produk sosial dalam menjalankan perodak kapital.

Dominasi kapital dalam lingkup sosial memang cukup berhasil, namun seiring kesadaran sosial itu sendiri apakah seorang perempuan akan masih terkondisikan oleh produk dan perodak yang diperoduksi oleh kapital “lewat kecantikan semu” tentu hal ini hak perempuan. Ketika perempuan masih terjebak dalam pelabelan sosial maka cita-cita kesetaraan tidak akan tercapai.
Satu hal yang perlu penulis tegaskan disini ketika seorang perempuan sepakat dengan konsepsi “cantik” yang diproduksi lewat produk. Dapat dikatakan mereka telah membuat sekat dan kelas “perempuan” dalam lingkungan individu perempuan sendiri. Artinya orang yang sejalan dengan konsep kecantikan berarti mereka telah mempatalogikan diri perempuan itu sendiri.

Apakah seorang perempuan yang pendek tidak cantik ?, Apakah seorang perempuan yang berambut keriting tidak cantik, Apakah seorang perempuan yang berkulit hitam tidak cantik (bagaimana dengan perempuan papua) kalau kita kembali konsepsi awal seperti rumusan para kapital lewat perodak dan peroduk “kecantikan”-nya, maka mereka bukan dan tidak menjadi bagian, disini telah terjadi pendistorsian secara sistematis oleh kapital.

“perempuan harus merubah kebiasaan di depan cermin (berias diri/ bermik-up), karena perilaku semacam itu hanyalah penipuan diri, mencerminkan ketidak percayaan diri dengan bergantung pada perodak. Cermin nyata adalah realitas sosial, inilah yang harus disikapi oleh seorang perempuan untuk menjadi wanita sejati. Jika saja seorang perempuan sadar mereka hanya diperalat oleh mitos dan propaganda kapital dalam menyikapi tubuh mereka.

Pada dasarnya perempuan saat ini masih belum bisa keluar dari paradigma umum. Mereka masih terkontruks sedemikian rupa oleh media, sehingga perempuan tidak bisa melepas dirinya dalam keterisolasian media. Peran media dalam membentuk perempuan sudah mengakar kuat di dalam diri perempuan itu sendiri.

Harapan untuk keluar dari kungkungan media bukan suatu kemustahilan jika perempuan itu sendiri memiliki kemauan untuk berubah. Tentu untuk menyikapi masalah semacam ini dibutuhkan keberanian, sikap supfersif adalah sebuah langkah yang bisa diambil oleh perempuan untuk keluar dari keterisolasian.

Kembali pada cita-cita Marx, pada awalnya pandangan Marx mengenai penghapusan kelas dianggab sebuah mimpi oleh banyak kalangan. Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarki sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung.

Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, semoga melalui pintu analisis ini bisa member manfaat untuk melihat problem-problem keterisolasian perempuan.
Baca Selengkapnya di sini..